Mohon tunggu...
Muhammad Naufal Razani
Muhammad Naufal Razani Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

penulis bosan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Melihat Kembali Krisis Ekonomi Amerika Serikat 2008: Persiapan Krisis Baru?

7 Juli 2022   10:00 Diperbarui: 7 Juli 2022   10:08 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

14 tahun telah berjalan sejak krisis ekonomi terbesar abad ke-21. Dimana dunia melihat era pertumbuhan cepat pasca krisis "dot-com bubble" runtuh dalam sekejap.

Memang, Indonesia tidak merasakan dampak signifikan dari krisis ini, ekonomi kita dapat bertahan dengan pertumbuhan PDB sebesar 4,6%. Namun, bila kita lihat tetangga seberang samudera kita, Amerika Serikat. Dampak yang dihasilkan oleh krisis ini hingga disebut sebagai krisis ekonomi terbesar sejak "1929's The Great Depression", dengan total kerugian hingga 10,5 triliun USD atau setara 14,25 triliun USD di tahun 2022.

Dengan kerugian sebesar ini, apakah penyebabnya krisis ini?

Kita tidak dapat menyalahkan 1 penyebab. Sama seperti krisis ekonomi yang lain, krisis ekonomi 2008 disebabkan oleh komplikasi berbagai hal.

Pertama, peminjaman modal kepada orang-orang dengan skor kredit rendah. Dikarenakan adanya kompetisi antar peminjam modal untuk market share dan untuk mempermudah peminjaman modal pasca "dot-com bubble", banyak dari bank dan peminjam modal yang mengendurkan kebiijakan peminjaman modal-nya. Ini menyebabkan banyak orang dengan skor kredit rendah meminjam uang yang akhirnya tidak dapat dikembalikan. Tidak terbayarnya hutang-hutang dari peminjam ini memberatkan ekonomi.

Kedua, program rumah murah. Dengan kendurnya kebijakan peminjaman modal, banyak warga Amerika Serikat yang meminjam uang untuk membeli rumah. Kebanyakan dari warga ini memiliki skor kredit yang rendah, sehingga kembali lagi, banyak hutang yang tidak terbayar yang memberatkan ekonomi.

Ketiga, pecahnya housing bubble. Dengan banyaknya warga AS yang membeli rumah, banyak juga yang menjual rumahnya dikarenakan harga yang terus menerus naik. Namun, dengan tingginya harga properti, orang-orang mulai berhenti membeli rumah. Ini menyebabkan bubble harga yang terus menerus naik menjadi pecah. Harga properti terus-menerus menurun, hingga akhirnya kebanyakan harga rumah lebih mahal daripada uang dipinjam untuk membeli rumahnya (ie. rumah dibeli dengan pinjaman 2007 : 500k USD; rumah pasca bubble pecah : 350k USD). Sehingga banyak warga yang berhenti membayar pinjamannya, yang kembali lagi memberatkan ekonomi.

Dengan banyaknya pinjaman yang tidak terbayar, ekonomi Amerika Serikat mulai runtuh, yang berdampak secara global. Terlebih pada negara-negara yang melakukan sistem peminjaman modal serupa. Dengan mayoritas negara dunia mengalami resesi.

Kembali lagi ke poin di awal, Indonesia tidak mengalami dampak signifikan oleh krisis ekonomi ini. Mengapa? Dilansir Indonesia Investments, Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang kuat pada krisis 2008-2009 didukung oleh konsumsi domestik yang besar. Sehingga, dampak krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat tidak berpengaruh besar terhadap ekonomi di Indonesia.

Dengan bayang-bayang krisis ekonomi yang mungkin akan terjadi pasca COVID-19, apakah ekonomi Indonesia cukup kuat untuk menghadapinya, sama separti pada tahun 2008?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun