Mohon tunggu...
Naufal Rospriandana
Naufal Rospriandana Mohon Tunggu... Konsultan - Ordinary

Ordinary

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memberi Makan Indonesia

10 Januari 2014   11:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:57 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Bakti Petani untuk Negeri (http://www.firmansoebagyo.com/Berita/tabid/120/ID/1540/Agriculture-Sector-Is-Falling-Behind-BPS.aspx)"][/caption]

Agak telat sebenarnya momennya saya menulis tentang hal ini, namun sejujurnya saya tidak sampai sejauh itu tahu, paham, dan memperhatikan tentang hal ini, namun penting tidak penting, ini merupakan hal penting yang harus kita ketahui bersama menyangkut masa depan bangsa ini. Barulah dalam sebuah pertemuan Rabuan BCCF (Bandung Creative City Forum), Rabu (8/1/14) malam lalu semuanya terungkap. Diskusi mingguan malam kemarin membahas mengenai keadaulatan pertanian bangsa Indonesia yang di ­­host oleh rekan-rekan dari komunitas Agritektur.

Sedikit flash back ke bulan Desember silam di mana kala itu Konferensi WTO (World Trade Organization) tingkat Menteri Perdagangan yang diadakan di Bali hampir saja deadlock akibat tidak setujunya beberapa negara; dipelopori India dan didukung Bolivia, Venezuela, Nikaragaua, Kuba, terhadap keputusan paket Bali. Konferensi ini sendiri mengambil skema single under-taking, jadi ketika ada 1 saja anggota tidak setuju, maka kesepakatan tidak akan diambil.

[caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="India Menolak WTO (http://asatunews.com/berita4-14735-wto-india-tolak-proposal-bali.html)"][/caption]

Adapun paket tersebut membahas mengenai mengenai kemajuan pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati oleh anggota WTO, seperti pelaksanaan topik liberalisasi pertanian (AoA/Agreement on Agriculture) dan fasilitas perdagangan (Trade Fasilitation) serta pembangunan negara berkembang dan miskin atau tema (LDC/Least Development Country).Apapun itu nama topiknya dalam bahasa sederhana nan manusiawi, di Bali para wakil negara-negara anggota di mana kala itu Indonesia diwakili oleh Menteri Perdangangan Gita Wirjawan hendak merumuskan dan menyepakati sebuah paket tindakan, yang akan menggerakkan kembali proses yang berawal pada perundingan Doha 2001 silam. Pertemuan ini mengharapkan kesepakatan permudahan perdagangan lewat sistem cukai yang lebih sederhana,pengurangan subsidi pertanian, dan pemberian bantuan bagi negara-negara miskin.

Namun apakah hal yang membuat konferensi ini hampir-hampir saja deadlock kala itu?Itu karena India menolak mentah-mentah poin dalam Paket Bali, India tetap ngotot menginginkan durasi tak terbatas saat pemberlakuan penambahan subsidi pertanian untuk negara-negara berkembang dari 10% menjadi 15%. Sementara Amerika Serikat bersikukuh bahwa subsidi pemerintah terhadap pertanian harus dihapuskan. Karena hal tersebut diyakini akan mendistorsi perdagangan hasil pertanian. Ibaratnya: dua orang si Ucul dan Acul bersaing dalam bisnis, si Ucul berjuang sendiri dengan modal mandiri sementara si Acul disuntik modal dari Bapaknya, eh si Ucul ga terima, “enak lu ya dimodalin bokap, ya jelas lu bisa menang mudah. Tidak sesederhana itu, namun itulah yang Amerika tidak inginkan di era free trade agreement suatu saat nanti. Sementara apakah pembelaan India? Dalam bahasa sederhananya, kata India begini

“Woi Amerika gila aja lu, masa iyah gue gak boleh ngemodalin (mensubsidi) petani-petani gue buat bersaing, bisa mati mereka, lu sih enak, presentase petani dari populasi lu cuma 3-4% dan udah berindustri, lah gue 60% populasi negara gue tuh petani, mau hidup dari mana kalo kagak gue modalin, gile lu yeh, abislah ntar produk pertanian gue sama barang impor, mati berdiri petani-petani gue.” (India)

Wajar saja India berpikiran demikian, laporan International Business Times menunjukkan setiap harinya 2000 orang India resign”dari pekerjaan sebagai petani karena profesi tersebut tidak menguntungkan secara ekonomi, akankah malah India berharap pada produk impor di kala petani-petaninya mundur teratur? Sementara Amerika terus bersikukuh bahwa hal tersebut membuat perdagangan global tidak fair. Lalu bagaimana Indonesia? Sederhananya gini deh kata Indonesia “Ya kita sebagai tuan rumah tidak memihak mana pun, tidak pada Amerika, tidak pada India, kita menengahi saja”. Lebih dari itu, dalam beberapa kesempatan, Indonesia seolah malah bertentangan dengan India dan tampak menjadi juru bicara negara-negeara maju.

Hasil akhir konferensi WTO menyetujui bahwa India dan beberapa negara Amerika Selatan sepakat dengan opsi yang ditawarkan forum. India melunak terhadap tekanan Amerika Serikat. Dipilihlah opsi pemerintah India dan negara berkembang (termasuk Indonesia) masih berhak mensubsidi pertanian mereka sebesar 15% namun hanya selama 4 tahun awal Free Trade Agreement. Apakah ini berarti kemenangan bagi India dan negara berkembang? Jika ditelaah lebih lanjut, ini sama saja dengan pembunuhan petani secara perlahan! Produk impor tetap bebas masuk bahkan tanpa cukai, produk lokal tetap saja tergencet arus impor. Empat tahun adalah waktu yang pelan tapi pasti dapat membunuh petani Indonesia. Masalahnya di empat tahun tersebut, subsidi pertanian dari negara-negara maju puluhan bahkan ratusan kali lipat lebih besar dibandingkan dengan negara-negara berkembang.Jika hanya dibatasi 4 tahun, maka tidak akan cukup bagi petani dan tentunya pemerintah. Karena tentu 2 tahun masa pemerintahan setiap presiden di Indonesia adalah masa-masa persiapan pemilu dan perang politik, itu artinya waktu efektif pemerintah hanya 3 tahun!

[caption id="attachment_305185" align="aligncenter" width="653" caption="Screenshot Detikcom"]

13893260481100737111
13893260481100737111
[/caption]

Kebijakan paket Bali memang baru akan digulirkan 2020 mendatang, namun skema ini akan mulai digulirkan sebagai ajang latihan bangsa Asia Tenggara dalam Asean Economic Community 2015, itu artinya tahun depan! Herannya dan memang saya jadi heran, apakah perwakilan Indonesia dalam konferensi Bali kala itu (Menteri Perdagangan) sedang lupa atau bahkan tidak berpikirkah beliau berapa persen presentase petani dalam populasi Indonesia yang 240 juta jiwa itu? Sekarang saja dengan subsidi, hidup sudah segan, apalagi nanti? Apakah yakin Paket Bali dapat membela kepentingan petani?

Lantas bagaimana dengan Indonesia, tanah suci bak surgawi ini? Kita boleh berbangga hati, tahun lalu, 2013, Indonesia tidak mengimpor beras (hanya beras). Tingkat kesejahteraan petani tahun 2013 meningkat 0,71%. Jelas saja, bagi negara agraris seperti Indonesia yang luas lahan sawahnya mencapai lebih dari 8 juta hektar, mengimpor beras sungguh keterlaluan.Namun apakah angka itu cukup sebagai dasar kalau Indonesia siap dengan konsekuensi paket Bali dan apakah petani siap mandiri dan siap menghadapi impor besar-besaran di Free Trade Agreement kelak? Petani tentu bukan hanya petani beras, seharusnya petani adalah sumber pangan suatu negara. Sedikit refleksi, silakan lihatlah gambar berikut, tahun 2010-2011, tingkat impor pangan Indonesia naik 10,29%!

[caption id="attachment_305186" align="aligncenter" width="572" caption="Impor Pangan Indonesia 2010-2011 (Courtesy Agritektur)"]

1389326549519757517
1389326549519757517
[/caption]

Apa sajakah produk-produk komoditas yang diimpor negeri yang katanya mampu mengubah tongkat kayu dan batu jadi tanaman ini?

[caption id="attachment_305187" align="aligncenter" width="503" caption="Produk pangan yang diimpor Indonesia (COurtesy Agritektur)"]

1389326581800102697
1389326581800102697
[/caption]

Indonesia mengimpor pangan dari negara-negara ini.

[caption id="attachment_305188" align="aligncenter" width="563" caption="Dari negara-negara ini Indonesia biasa mengimpor pangan (Courtesy Agritektur)"]

13893268061212881080
13893268061212881080
[/caption]

Berapakah uang yang diseotrkan pemerintah untuk impor pangan?

[caption id="attachment_305189" align="aligncenter" width="577" caption="Ini total yang biasa disetorkan pemerintah untuk impor pangan (Courtesy Agritektur)"]

13893268261888619332
13893268261888619332
[/caption]

Dari populasi Indonesia 240 juta jiwa, sekitar 63,2 persen penduduk miskin Indonesia tinggal di desa dan tentu terduga sebagain besar mereka adalah petani gurem, petani kecil dan buruh tani. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik(BPS), pada Maret 2011, hampir 60 persen penduduk miskin bekerja disektor pertanian.

Masih ingatkah Anda cerita tentang petani tebu yang menyerbu kantor kementerian perdangangan tahun 2013 silam akibat masalah gula rafinasi?

[caption id="" align="aligncenter" width="530" caption="Ribuan Petani Tebu serbu Kantor Kementerian Perdangangan (http://foto.news.viva.co.id/read/10778-ribuan-petani-tebu-serbu-kantor-gita-wirjawan)"]

[/caption]

Apa lagi dampak merebaknya produk impor yang menggerus kesejahteraan petani yang sudah tidak sejahtera? Anda mungkin masih ingat tentang harga cabai mahal mencapai 65.000/kg di tahun 2013? Lalu pemerintah mendatangkan produk-produk impor untuk menstabilkan harga cabai, tindakan yang terasa amat pedas tentu bagi para petani. Dan lagi bagaimana ketika di tahun 2013, harga bawang melonjak tinggi, stabilisasi kembali dengan impor. Kala itu di saat bawang local 40.000/kg, bawang impor sanggup 36.000/kg. Lalu dimana bargaining position petani lokal? Ini adalah potret saat ini dalam keadaan kita belum sampai pada Free Trade Agreement, bagaimana kelak?

Beginilah tatkala kita dipelintir dengan isu ketahanan pangan. Ingin pangan melimpah bagi masyarakat? Ya sudah impor saja, mudah kan? Tapi kita lupa akan kedaulatan pangan, sungguh sangat berbeda antara KETAHANAN dan KEDAULATAN. Paket Bali tampak merupakan bentuk nyata liberalisasi pertanian, di mana yang besar yang berkuasa, yang kecil dikuasai.

Ya begitulah negeri ini, petaninya tetap saja misikin, pangannya tetap saja impor, meskipun presidennya Doktor Ilmu Pertanian. Mungkin memang negara ini sedang lupa bahkan amnesia pada negerinya. Memberi makan Indonesia memang tidak mudah dan bahkan dipersulit oleh diri sendiri.

Tahun 2014, tahun politik telah dimulai, siapakah sosok yang mampu menjadi solusi?

Di akhir kata, saya teringat pada sebuah quotes demikian:

“Jadilah kamu pemimpin berpikiran global namun berhati grass-root”

(Seseorang dalam TedX Jakarta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun