Selasa lalu (13/11), Sekjen Gerindra Ahmad Muzani menyentil SBY yang dinilai tak memenuhi janji untuk mengampanyekan Prabowo. Sentilan itu langsung direspon SBY melalui akun twitternya semalam (15/11), yang justru meminta Prabowo introspeksi. SBY menyebut, dia telah dua kali menjadi capres dan tak pernah menyalahkan partai pendukung, karena pucuk kewenangan koalisi ada di tangan Capres. Untuk memahami perdebatan SBY dan Sekjen Gerindra ini kita perlu flashback, menyusur proses terbentuknya koalisi pendukung Prabowo-Sandi.
Sedari awal, sebenarnya SBY dan Partai Demokrat tak tertarik mendukung Prabowo. Dalam pernyataannya, SBY bahkan menginginkan poros ketiga koalisi Capres-Cawapres, di mana AHY bisa menjadi calon alternatif. Seiring dinamika politik, SBY harus berkompromi memilih gabung kubu Jokowi atau Prabowo, mengingat Demokrat tak cukup mengusung AHY sendiri.
Di kubu Jokowi, peluang menyandingkan AHY dengan Jokowi sangat tipis. Banyaknya partai pendukung Jokowi cukup sulit ditembus Demokrat. Sementara di kubu Prabowo, Demokrat mendapat jalan lebih lapang. Berdasar hitungan kuantitas, perolehan Demokrat pada Pemilu 2014 terhitung paling mendekati Gerindra. Dengan begitu, AHY punya kans menjadi Cawapres Prabowo, mengingat modal elektoral Demokrat lebih tinggi dari PKS dan PAN, yang masing-masing menawarkan Salim Segaf Aljufri dan Zulkifli Hasan sebagai Cawapres Prabowo.
Sayang perhitungan SBY meleset, karena PKS dan PAN akhirnya kompak mengusung Sandiaga Uno sebagai Cawapres Prabowo. Saat itulah, Andi Arief membocorkan bahwa PKS dan PAN rela mengusung Sandi lantaran disogok kardus duit 500 miliar. Demokrat pun merasa kena PHP Prabowo, yang sebelumnya berjanji akan merangkul AHY sebagai Cawapres.
Sebenarnya SBY dan Demokrat sudah menimbang bahwa peluang Prabowo menang sangat tipis. Tapi setidaknya, kekalahan Prabowo bisa jadi investasi politik bagi Demokrat kalau AHY ditetapkan sebagai Cawapres. Sekarang, Demokrat sudah tak tak dapat kursi Cawapres, dan masih dipaksa kampanye mendukung Prabowo-Sandi. Dalam hitungan politik, mending Demokrat dukung Jokowi. Meski AHY juga tak jadi Cawapres, tapi peluang Jokowi menang jauh lebih nyata. Tapi itu sudah telat.
Dan ternyata, kondisinya lebih buruk lagi. Sandi Uno yang sudah menyerobot tiket Cawapres AHY, banyak melakukan manuver di luar nalar politik Demokrat. Seperti kita tahu, AHY adalah putra mahkota SBY yang terbiasa dengan gaya politik yang sangat teratur. Dalam berpidato misalnya, tim komunikasi Demokrat akan melatih dan mempersiapkan segalanya, mulai dari naskah, gestur, intonasi, artikulasi dan seterusnya.
Masalahnya, SBY style itu sama sekali gak cocok dengan Sandi Uno style yang lebih suka main sensasi, masang pete di kepala, foto dengan gaya nyeleneh, ngutip cerita ibu-ibu di pasar tanpa validitas data. Kalau dipaksa mendampingi safari Sandi, bisa dibayangkan betapa mati gaya AHY. Tanpa diminta ikutan nyeleneh bareng Sandi pun, SBY dan Demokrat sudah kesal dengan PHP Prabowo yang batal mencalonkan AHY menjadi Capres. Nah sekarang, ketika Demokrat belum juga move on dari kekesalannya, Gerindra nagih SBY dan AHY disuruh kampanye Prabowo.
Menurut informasi internal, sebenarnya SBY sudah menyampaikan keberatannya pada Prabowo. SBY usul agar Prabowo lebih banyak menawarkan alternatif program dan kebijakan, sehingga kader-kader Demokrat akan lebih mudah membantu kampanye Prabowo. Tapi, tampaknya Prabowo tidak merespon komplain SBY, dan Sandi pun tetap meneruskan aksi-aksi konyolnya. Terang saja, SBY pun merasa tak perlu lagi bersusah-payah mengkampanyekan Prabowo-Sandi.
Sebagai politisi dengan jam terbang cukup panjang, SBY paham bahwa memaksakan diri berkampanye untuk Prabowo-Sandi hanya akan berimbas buruk bagi Partai Demokrat. Karenanya, SBY pun lebih memilih mengamankan partai daripada mengorbakan elektabilitas untuk Prabowo-Sandi. Akhirnya impas sudah, 1-1 PHP antara Demokrat dan Gerindra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H