Mohon tunggu...
Naufal Nabilludin
Naufal Nabilludin Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Ternyata mikir itu lebih susah dari pada dapet ranking

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Lower Your Expectations, Filosofi Stoicism

18 Juli 2021   01:15 Diperbarui: 18 Juli 2021   01:21 1360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setelah gue bikin tulisan-tulisan soal stocism yang bahas dikotomi kendali dimana kita harus bisa membedakan hal yang bisa dikendalikan dan yang gak bisa dikendalikan dan bahas soal kebahagiaan yang bisa dikendalikan dengan mengontrol opini yang melahirkan emosi-emosi negatif.

Tapi rasanya agak kurang kalau gue gak bahas soal yang satu ini. Prinsip yang emang gue pegang beberapa tahun belakangan ini dan berhasil membantu gue untuk lebih sehat dan waras ditengah hiruk pikuk dunia yang serba ketidakpastian ini. Yaitu soal Ekspektasi

Salah satu prinsip hidup gue adalah gak boleh berekspektasi tinggi sama apapun di dunia ini. Selain karena ekspektasi lebih sering membawa gue ke hal-hal yang menyakitkan, ekspektasi juga berbanding lurus dengan rasa kecewa. Semakin tinggi ekspektasi maka akan semakin tinggi pula rasa kecewa yang akan didapatkan. Dan pada akhirnya ekspektasi tinggi tersebut hanya menciptakan emosi-emosi negatif yang menghambat kebahagiaan.

Dan filosofi stoicism membahas soal ekspektasi ini, bahkan lebih dari sekedar gak boleh berekpektasi tinggi. Aliran stoicism justru menganggap bahwa ekspektasi yang lebih baik adalah ketika kita mengekspektasikan yang terburuk dalam memandang ketidakpastian atau masa depan.

Berekspektasi pada hal yang terburuk ngebuat kita lebih siap menghadapi hal buruk yang mungkin aja akan terjadi. Dengan begitu, ketika kemungkinan terburuknya menjadi realitas, kita gak sekaget dan sekecewa itu. Yaa, karena kita udah memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuknya dan kita siap menghadapi itu dengan fokus ke hal-hal yang bisa dikendalikan. Kalaupun ternyata realitasnya gak seburuk yang kita ekspektasikan, kita akan lebih bersyukur dan bahagia karena realitasnya gak seburuk itu. Ya karena realitasnya melebihi apa yang diekspektasi.

Dengan kita berekspektasi buruk bukan berarti kita pasrah ya. Itu dua hal yang berbeda. Kita harus tetap memaksimalkan apa yang bisa kita kendalikan.

Contoh kasusnya misalkan lo mau daftar PTN dan kebetulan lo termasuk siswa eligible yang boleh daftar SNMPTN. Lo gak boleh sama sekali mengekspektasikan kalau lo bakal lolos di SNMPTN. Lo harus mengekspektasikan yang terburuknya yaitu gagal di SNMPTN, dengan begitu lo ada persiapan buat SBMPTN atau yang lainnya. Ketika emang beneran lo gagal di SNMPTN lo gak akan sekecewa dan sepanik kalau lo mengekspektasikan lolos di SNMPTN, karena lo punya persiapan buat SBMPTN atau yang lainnya, dan tinggal ngelanjutin aja. Tapi kalau ternyata lo lolos di SNMPTN lo akan jauh lebih bersyukur dan bahagia, karena ternyata realitasnya gak seburuk apa yang lo ekspektasikan. Toh gak ada ruginya juga lo belajar SBMPTN  selama ini, walaupun pada akhirnya lo lolos di SNMPTN .

Jadi lo pikirin dulu tuh hal yang paling terburuk yang mungkin bakal terjadi, supaya nantinya lo siap sama semua kemungkinan yang terjadi. Dengan begitu lo jadi bisa lebih menerima apapun yang terjadi baik positif atau negatif dan tetap berusaha sebaik mungkin apapun hasilnya. 


Meskipun mengekspektasikan hal terburuk kesannya pesimistis, justru itu hal yang sangat positif. Dengan begitu fokus pikirannya lebih ke proses dibandingkan ke hasil. Yang mana hasilnya itu gak bisa kita kontrol, kita cuma bisa mengontrol prosesnya

Bahkan Marcus Aurelius salah satu filsuf Stocism dalam bukunya "Meditations" nyaranin untuk bilang gini ke diri sendiri tiap pagi:

“Today II shall be meeting with interference, ingratitude, insolence, disloyalty, ill-will, and selfishness- all of them due to the offenders ignorance of what is good or evil.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun