Tujuh puluh lima tahun lamanya, udara kemerdekaan kita rasakan dari hasil perjuangan. Mulai dari pertempuran di medan perang, sampai diplomasi dimeja bundar. Tokoh-tokoh kemerdekaan yang berintelektual, pemikir yang visioner, dan pencetus gagasan briliant lahir dari tradisi literasi. Sang proklamator pernah berkata " aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas." Buku menjadi salah satu sumber energi dan kebebasan bagi mereka yang haus akan ilmu pengetahuan atau sekedar memuaskan dahaga intelektualisme.Â
Namun sangat disayangkan, berdasarkan  data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Riset berbeda yang bertajuk "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.Â
Dan Kabar Terbaru datang setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merilis hasil Program Penilaian Pelajar Internasional (Programme for International Students Assessment, PISA) 2018. PISA juga menempatkan posisi  Indonesia di urutan ke-74 dari 79 negara yang diteliti.Â
Dalam kategori sains, Indonesia memperoleh skor 396 (rata-rata OECD 489), kategori matematika ada di peringkat ke-7 dari bawah dengan skor 379 (rata-rata OECD 489), dan skor terendah yang diperoleh Indonesia ada pada kategori membaca, yaitu sebesar 371 (rata-rata OECD 489). Skor dalam kategori membaca turun drastis jika dibandingkan dengan skor PISA pada 2015 yakni 397 (rata-rata OECD 493).
Hasil buruk mampuan literasi siswa pada PISA 2018 cukup mengejutkan, pasalnya sejak 2016 sudah digalakkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) oleh pemerintah khususnya Kemendikbud. Alih-alih naik, namun nilai kemampuan membaca tahun 2018 setara dengan capaian tahun 2000.  Ini menunjukkan bahwa Gerakan Literasi Sekolah tidak efektif dalam meningkatkan minat baca. Dan saya kira Gerakan Literasi Sekolah gagal mendongkrak kualitas literasi siswa.Â
Saya menganalogikan pembaca pemula sama dengan mendaki gunung pertama kali. Kalau pertama kali naik gunung dapet view yang bagus dan perjalanan gak terlalu berat, pasti tertarik untuk naik gunung yang lain. Tapi kalo pertama kali naik gunung sudah di teror sama makhlus halus, perjalanan berat, dan pemandangannya kurang bagus, pasti kapok dan gak mau lagi naik gunung.Â
Begitupun dengan membaca, kalau buku yang pertama kali dibaca relate dengan keadaan, asik, dan gak terlalu berat, pasti akan mencari buku yang lain. Tapi kalo pertama baca itu yang berat-berat, gak relate, dan di teror sama guru, pasti kapok dan gak mau baca lagi. Intinya first impression is important. Problemnya GLS itu membuat siswa ilfeel terhadap buku bacaan. Mungkin ini cuma saya dan pengamatan saya aja, Tapi pas nanya temen-temen yang hobi nulis di wattpad pun mereka bilang, suka nulis dan baca bukan karena GLS.
Gerakan Literasi sekolah hanya berfokus kepada hasil bukan proses. Siswa tidak diberi tahu bagaimana caranya supaya suka baca buku. Mereka hanya diperintahkan menyelesaikan membaca buku, dan merangkum hasil bacaanya. Hal ini terkesan seperti formalitas pihak sekolah saja kalau GLS ada di sekolah tersebut, tanpa benar-benar paham apa tujuan dari GLS itu sendiri. Tentu hal ini sangat membosankan bagi siswa, karena tidak di dasari oleh rasa suka. Bukannya menjadi suka baca, malah menjadi ilfeel untuk membaca. Ditambah buku bacaan belum sesuai dengan usia dan minat siswa serta minimnya dukungan orang tua dan masyarakat dalam menumbuhkan budaya membaca
Masalah literasi di Indonesia sudah dalam kondisi krisis, perlu penanganan serius dari semua pihak bukan cuma dari pemerintah.Â
Seperti kata Mendikbud Nadiem Makarim, "impian untuk dapat memiliki capaian rerata setara negara-negara OECD dalam PISA hanya dapat diwujudkan dengan optimisme untuk bekerja keras dari semua pihak."
Apalagi kita saat ini memasuki era revolusi industri 4.0 Yang dimana sangat memerlukan kemampuan literasi  (membaca dan menulis) sebagai dasar untuk literasi lanjutan yang diperlukan di era ini (literasi data, literasi digital, literasi teknologi, literasi kemanusiaan, dan lain-lain). Ini merupakan satu tantangan besar bagi bangsa, kita harus bisa beradaptasi dengan zaman yang semua serba digital, termasuk dalam membangun budaya literasi dasar. Program atau gerakan-gerakan literasi yang terbilang "kuno" dan membosankan harus diubah total, harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan lebih menyenangkan.Â