Dalam dunia atletik, ada banyak kisah inspiratif tentang orang-orang dengan disabilitas yang berhasil mencapai prestasi luar biasa. Salah satu contoh yang terkenal adalah Dewangga Kanahaya Iskandar, seorang atlet disabilitas Indonesia yang memenangkan ASEAN Autism Games pada tahun 2018. Namun, dalam sorotan publik, Dewangga juga menjadi terkenal karena sebuah jawaban viralnya saat diwawancarai oleh wartawan. Jawabannya yang sederhana namun aneh, yaitu "nggak tau, males, pengen beli truk!", kemudian dikaitkan dengan konsep "super crip" dalam konteks disabilitas.
"Super crip" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang dengan disabilitas yang dianggap berhasil mengatasi atau mengalahkan disabilitas mereka melalui usaha heroik. Konsep ini sering digunakan oleh media sebagai bentuk promosi bagi orang dengan disabilitas yang berprestasi. Namun, konsep ini juga dapat membatasi pandangan masyarakat tentang disabilitas secara keseluruhan, karena menekankan pencapaian individu daripada isu-isu struktural yang lebih besar.
Komentar Dewangga, yang awalnya dianggap sebagai contoh dari bagaimana media memanfaatkan konsep "super crip" untuk menyoroti pencapaian individu, sebenarnya mengingatkan kita untuk melihat lebih jauh. Dewangga sendiri tidak mempromosikan dirinya sebagai "super crip" dan hanya ingin diakui sebagai atlet yang berprestasi. Ini menunjukkan pentingnya melihat individu dengan disabilitas sebagai orang-orang yang unik dan beragam, bukan hanya sebagai "pahlawan" yang harus memenuhi standar tertentu.
Namun, dalam konteks yang lebih luas, orang dengan disabilitas masih sering dihadapkan pada tekanan identitas "super crip". Mereka diharapkan untuk menjadi inspirasi bagi diri mereka sendiri, keluarga, dan bahkan bangsa, sebagai syarat untuk diterima secara sosial. Namun, pandangan ini dapat membatasi pemahaman masyarakat tentang disabilitas secara menyeluruh, dan terkadang mengabaikan isu-isu struktural yang dihadapi oleh orang-orang dengan disabilitas.
Penting untuk menyadari bahwa orang dengan disabilitas memiliki hak yang sama untuk diakui dan dihargai, tanpa harus memenuhi standar "super crip" yang ditetapkan oleh masyarakat. Mereka tidak harus terus-menerus membuktikan bahwa mereka "berhasil mengalahkan" disabilitas mereka agar diterima dan dihormati. Sebagai masyarakat, kita perlu berjuang untuk menciptakan inklusi dan kesetaraan bagi orang dengan disabilitas, dan mengakui bahwa mereka memiliki kontribusi yang berharga untuk diberikan kepada masyarakat.
Untuk mencapai inklusi yang sebenarnya, kita perlu menghadapi isu-isu struktural yang terkait dengan disabilitas. Misalnya, aksesibilitas fisik yang memadai, pendidikan yang inklusif, dan peluang kerja yang setara merupakan hal-hal yang harus diupayakan oleh masyarakat. Ini berarti tidak hanya memberikan pujian kepada individu dengan disabilitas yang berhasil mencapai prestasi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung bagi semua orang dengan disabilitas.
Selain itu, penting juga bagi media dan masyarakat umum untuk menghindari penekanan yang berlebihan pada pencapaian individu dan mengabaikan isu-isu struktural yang lebih besar. Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik, dan dengan itu, mereka harus bertanggung jawab untuk mempromosikan pemahaman yang lebih mendalam tentang disabilitas. Melalui cerita yang lebih beragam dan menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh orang dengan disabilitas, kita dapat memperluas perspektif kita dan memperjuangkan perubahan yang lebih besar dalam masyarakat.
Kesimpulan dari artikel ini, konsep "super crip" dapat membatasi pandangan masyarakat tentang disabilitas dan menekankan pada pencapaian individu daripada isu-isu struktural yang lebih besar. Orang dengan disabilitas harus diakui dan dihargai tanpa harus memenuhi standar "super crip" yang ditetapkan oleh masyarakat. Sebagai masyarakat, kita harus bekerja sama untuk menciptakan inklusi yang sebenarnya dan menghadapi isu-isu struktural terkait dengan disabilitas. Dengan cara ini, kita dapat membuka jalan bagi perubahan yang lebih besar dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif bagi semua orang.
REFERENSI
Martin, Jeffrey J. (2017), Handbook of Disability Sport and Exercise Psychology, Inggris: Oxford University Press