Mohon tunggu...
Muhammad Naufal Ihsani
Muhammad Naufal Ihsani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang (Unnes). Asal dan tumbuh di Jakarta Timur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konflik Sampit 2001 : Ketika Multikulturalisme Menjadi Arena Pertentangan dan Pertikaian

23 Desember 2024   21:33 Diperbarui: 23 Desember 2024   21:53 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 https://x.com/NabilFadilah12/status/1684426919364923392?t=ErOf-kKyDvmQDZbf63sgcg&s=19

Indonesia, negara yang kaya akan kebudayaan, adat istiadat, suku dan agama. Keberagaman ini tentu hadir karena mengingat luas wilayah Indonesia sebesar 1.904.569 km yang membentang dari Pulau Sabang hingga Merauke di Tenggara Papua. Dengan terdiri dari banyaknya pulau tentu menjadikan Indonesia terdiri atas berbagai macam suku dan adat dengan latar belakangnya masing-masing.

Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh di Jakarta, tentu sudah tidak asing atas keberagaman budaya yang ada. Bahkan kedua orang tua saya berasal dari suku yang berbeda dan saya tumbuh dengan mengenal teman-teman yang memiliki kebudayaan yang bermacam-macam. Tentu terkadang keberagaman yang terjadi di Indonesia tidak selalu memberikan dampak positif,namun juga memberikan efek sebaliknya bagi kehidupan di Masyarakat.

Banyak fenomena di Masyarakat yang dapat kita lihat saat ini tentang berbagai perilaku saling merendahkan satu sama lain berdasarkan suku atau kebudayaan seseorang. Namun terkadang tidak pernah serius dan hanya menimbulkan gesekan kecil saja. Namun dalam sejarah Indonesia terdapat sebuah peristiwa kelam dan berdarah yang terjadi 23 tahun silam yang disebabkan oleh perbedaan suku, adat, dan kebudayaan, yaitu Konflik Sampit 2001 yang terjadi di Kota Sampit, Kalimantan Tengah. Konflik ini terjadi antar dua suku yang berbeda yaitu penduduk asli Dayak dan penduduk transmigran yang berasal dari Madura, serta merupakan salah satu kasus multikulturalisme di Indonesia yang menunjukkan bahwa perbedaan dalam menyelesaikan konflik dapat memperbesar masalah, bahkan mengacaukan tatanan Masyarakat.

Sebelum tahun 2001 yang merupakan kejadian terparah, konflik yang melibatkan Suku Dayak dan suku Madura sebelumnya sudah terjadi beberapa kali seperti pada tahun 1996 dan 1997 yang merenggut kurang lebih 600 jiwa.

Lalu apa sebenarnya penyebab terjadinya konflik sampit ini dan bagaimana pengaruhnya bagi Masyarakat yang hidup di Kalimantan setelahnya. Untuk membahas ini tentu kita perlu membahas sisi historis pertikaian dari kedua suku tersebut.

Pada dekade 1930an, Belanda menjalankan program transmigrasi yang memindahkan suku Madura ke  Kalimantan yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia khusunya pada zaman Orde Baru di tahun 1970an. Salah satu alasan dari program transmigrasi ini salah satunya untuk meringankan tekanan atas pertumbuhan populasi di jawa yang berkembang sangat cepat. Per tahun 2000, orang-orang madura bahkan membentuk populasi sekitar 21% di Kalimantan Tengah.

Dengan program pemindahan penduduk yang berasal dari Madura ke Kalimantan, lingkungan yang tadinya terdiri dari hutan hujan kemudian digantikan oleh Perkebunan kelapa dan minyak yang menyebabkan suku Dayak kehilangan daya saing di bidang ekonomi akibat mereka tidak bisa melakukan aktivitas ekonomi yang sesuai dengan kebudayaannya, di masa depan hal ini menjadi terus berkembang dengan banyak terjadinya sengketa lahan Perkebunan dan hutan yang terjadi antara kedua suku tersebut. Orang Madura juga merasa menjadi sangat berpengaruh di kota sampit dan menganggap mendominasi kota Sampit

Selain karena faktor mata pencaharian dan ekonomi, tentu nilai-nilai kebudayaan juga menjadi salah satu faktor terbesar dalam pertentangan yang terjadi antara kedua suku tersebut yang mayoritas terjadi karena kesalahpahamn. Orang Madura selalu membawa celurit di kemanapun, yang membuat orang suku Dayak menanggap hal tersebut merupakan suatu bentuk provokasi. Padahal makna dari hal tersebut dalam tradisi celurit di madura, celurit melambangkan simbol kejantanan seorang laki-laki dan dalam makna yang lain celurit mirip bentuk rusuk manusia.

Selain itu menurut beberapa warga suku Dayak, beranggapan bahwa orang-orang dari suku Madura tidak menghormati kebudayaan daerah setempat yang dimana dalam konteks ini adalah kebudayaan dari suku Dayak.

Jika kita dapat memahami beberapa sebab diatas, tentu kita dapat mengambil inti permasalahannya bahwa suku Dayak tentu merasa tersaingi dan terancam dengan kehadiran suku Madura yang merupakan suku pendatang dan takut akan kalah saing dalam berbagai aspek salah satunya adalah ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun