Di balik layar tebal panggung politik, ada tangan-tangan yang tak tampak, namun kuat mencengkeram. Mereka duduk dalam sunyi, berbincang di ruang yang tak terjangkau suara rakyat, membentuk jaringan yang rapi seperti anyaman laba-laba. Ini bukan sekadar persoalan kuasa; ini adalah permainan yang berjalan halus, begitu diam-diam, namun pengaruhnya merasuk ke setiap lapisan kehidupan. Mereka yang disebut oligarki, berdiri kokoh di puncak kekuasaan, menulis takdir bangsa dengan pena emas mereka, sementara rakyat menanti dalam ketidakpastian yang terus mengabur.
Praktik oligarki, seperti bayang-bayang yang enggan pergi, mencengkram erat. Kekayaan, kekuasaan, dan pengaruh berbaur menjadi satu, menciptakan lingkaran kecil yang sulit ditembus. Mereka adalah penentu kebijakan, perumus aturan, dan pemilik kata terakhir di meja rapat yang sering kali tertutup rapat. Apa yang seharusnya menjadi suara rakyat, berubah menjadi gema yang nyaris tak terdengar di antara tembok-tembok tebal para penguasa.
Di dalam praktik oligarki, janji-janji kampanye kerap hanya menjadi bunga kata tanpa makna. Di hadapan publik, tersaji pidato penuh optimisme, namun di balik panggung, ada negosiasi yang lebih berat dari sekadar kepentingan rakyat. Saat pemilu tiba, demokrasi terlihat seperti pesta meriah; namun saat kursi-kursi sudah terisi, kebebasan rakyat kembali tenggelam dalam riuh perundingan di meja tertutup.
Bagi oligarki, kepentingan rakyat hanya menjadi alur yang harus dilalui untuk memelihara kekuasaan. Rakyat kecil dengan kehidupan yang semakin sulit seolah menjadi latar belakang bisu dari panggung kekuasaan ini. Ketidakadilan merajalela, kesenjangan melebar, dan suara-suara yang memohon keadilan seolah tak pernah sampai. Pada akhirnya, harapan menjadi redup, berganti dengan pasrah yang perlahan membekukan hati.
Namun di tengah kabut tebal ini, masih ada yang menanti. Di jalan-jalan, di perkampungan, dan di hati orang-orang yang sederhana, ada secercah harapan untuk melihat keadilan tegak. Meskipun mereka hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, asa tetap ada, menanti pagi yang mungkin akan tiba, di hari ketika suara rakyat benar-benar berarti.
Sementara itu, oligarki terus menjalankan praktiknya, kuat dan tak terjamah. Setiap kata, setiap janji, dan setiap keputusan yang mereka buat meninggalkan jejak yang tak selalu terlihat, namun selalu terasa. Dan selama masih ada yang percaya, perjuangan untuk keadilan tak akan pernah berhenti, meski langkahnya berat dan panjang di bawah bayang-bayang yang tak kunjung hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H