buruh Indonesia kerap kali terbenam, seolah hanya sebuah simfoni sunyi yang jarang terdengar. Mereka, para pekerja yang tak kenal lelah, berjuang tanpa henti dalam peluh yang meresap hingga ke tulang, namun tetap saja kesejahteraan terasa seperti impian jauh yang hanya bisa dilihat dari balik kaca buram.Â
Di balik deru mesin-mesin pabrik, di sudut-sudut kota yang penuh hiruk-pikuk, suara-suara lelahHidup di bawah bayang-bayang ketidakpastian, banyak dari mereka meniti hari demi hari dengan satu asa sederhana: hidup yang lebih baik, walau realita kerap kali berbicara sebaliknya.
Di tengah laju ekonomi yang katanya melesat, cerita para buruh masih tertinggal di belakang. Sering kali mereka disebut sebagai "tulang punggung bangsa," namun apakah tulang ini cukup kuat untuk terus menahan beban yang kian hari kian menumpuk? Upah minimum yang kerap menjadi sorotan dan bahan perdebatan hanyalah ujung dari gunung es masalah.Â
Faktanya, upah tersebut sering kali tak sepadan dengan kebutuhan hidup yang terus melambung. Di kota-kota besar, biaya hidup tak memberi ruang bagi mereka untuk bernapas lega, sedang di pedesaan, peluang kerja semakin langka.
Tidak sedikit buruh yang bekerja berpuluh-puluh jam dalam sehari, bahkan melebihi batas yang ditentukan, tanpa jaminan kesehatan, apalagi asuransi atau pensiun yang memadai. Bagi mereka, bekerja bukan sekadar rutinitas, melainkan hidup itu sendiri.
 Menolak atau berhenti bekerja bukanlah pilihan, karena sering kali, beban keluarga, biaya pendidikan anak, dan kebutuhan sehari-hari mendesak untuk terus dijawab, seakan waktu istirahat hanyalah kemewahan yang tak dapat mereka nikmati.
Para buruh Indonesia adalah potret dari harapan yang tak kunjung terwujud, perjuangan yang selalu tertunda. Janji-janji perbaikan nasib kerap kali menguap bersama angin, menggantung di langit-langit rapat yang entah kapan akan tergapai.Â
Di kala para pemimpin bangsa sibuk berdebat di kursi empuk, di gedung-gedung tinggi, buruh di bawah terik matahari atau dalam bayang mesin-mesin raksasa menatap nasib mereka yang tak kunjung berubah. Hati mereka menahan getir; setiap langkah yang mereka tapaki terasa seperti meniti asa di atas letih yang tak berkesudahan.
Namun meski lelah, harapan tetap hidup di mata mereka. Di wajah yang terpapar sinar matahari pagi, ada mimpi untuk generasi berikutnya agar tak perlu menjalani jalan yang sama. Di antara keluh yang jarang terucap, dalam diam yang menguatkan, buruh Indonesia tetap berdiri, masih meniti asa, meski harus bersandar pada pundak yang semakin renta.Â
Mereka mungkin tak selalu terdengar, tetapi perjuangan mereka adalah sebuah puisi panjang yang ditulis dengan keringat dan keteguhan hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H