Sritex), Iwan S Lukminto, menyebutkan bahwa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 menimbulkan dampak besar bagi industri tekstil dalam negeri. Menurutnya, regulasi ini telah mendisrupsi sektor tersebut secara signifikan, dengan banyak pelaku industri tekstil yang terpaksa menutup usaha mereka akibat arus impor yang tak terkendali.
Jakarta - Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk ("Permendag Nomor 8 ini memang sudah lama jadi masalah klasik yang kami semua tahu. Banyak pelaku tekstil mengalami disrupsi mendalam hingga harus menutup bisnis," ungkap Iwan saat bertemu dengan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Senin (28/10/2024). Ia pun menambahkan bahwa dampak tersebut cukup signifikan dan menyerahkan kebijakan lebih lanjut kepada kementerian terkait.
Permendag 8 Tahun 2024 diterbitkan sebagai revisi atas Permendag Nomor 36 Tahun 2024, yang sebelumnya dirancang untuk menangani tumpukan puluhan ribu kontainer barang impor di pelabuhan, terutama di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Perak Surabaya. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, sekitar 26 ribu kontainer tertahan di pelabuhan karena belum terbitnya Persetujuan Impor (PI) dari Kemendag dan Pertimbangan Teknis (Pertek) dari Kemenperin.
Setelah pembahasan bersama Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Permendag Nomor 36 Tahun 2023 kemudian direvisi menjadi Permendag No. 3/2024 dan Permendag No. 7/2024, yang memperketat izin impor. Namun, regulasi ini kembali dilonggarkan dengan hadirnya Permendag Nomor 8 Tahun 2024, yang mempermudah impor barang jadi, termasuk produk tekstil, sejak berlaku pada 17 Mei 2024. Dampaknya, pasar domestik kebanjiran produk impor yang memperlemah industri tekstil nasional.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita turut mendukung usulan agar Permendag 8 dicabut dan aturan sebelumnya diberlakukan kembali. Ia menyatakan bahwa dampak negatif regulasi ini terhadap industri manufaktur domestik, khususnya tekstil, sangat terlihat.
"Saya kira apa yang disampaikan Pak Iwan memang benar, dampaknya sudah menjadi isu di industri, khususnya tekstil. Dari Kemenperin, kami ingin ada revisi. Namun, apakah Kemendag akan merevisi atau tidak, itu perlu ditanyakan ke mereka," kata Agus.
Ia menambahkan bahwa kesulitan yang dihadapi industri tekstil tidak hanya disebabkan oleh lemahnya pasar ekspor, tetapi juga derasnya produk impor di pasar domestik. "Dengan pasar ekspor yang lesu, seharusnya pasar domestik bisa lebih dilindungi. Ketika industri dalam negeri kesulitan untuk mengekspor, mereka harus bisa mengandalkan pasar domestik untuk mempertahankan tenaga kerja kita," jelasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H