Kampung sawah yang terletak di pinggiran Kota Bekasi ini menyimpan keunikan. Kampung, yang dulunya masuk wilayah Kelurahan Jatiwarna, adalah salah satu kampung Betawi di Bekasi, tetapi memiliki dua gereja tua, yang berusia lebih dari seabad. Salah satunya Gereja Katolik Santo Servatius, yang berdiri sekitar tahun 1896 dan Gereja Kristen Pasundan Jemaat Kampung Sawah yang berdiri sekitar tahun 1874.
Kampung Sawah, menurut cerita pada jaman dahulu daerah ini bergelimang dengan sawah-sawah yang berkelimpahan padi. Sawah, yang berjenis sawah tadah hujan, saat itu memang sangat luas. Begitu luasnya sawah-sawah tersebut sehingga pemiliknya tidak sanggup memotong padi sendiri. selain itu sawah-sawah ini berselang-seling dengan perkampungan. Kemungkinan besar, itulah asal-usul nama Kampung Sawah. Tetapi sayang sekarang sawahnya sudah tidak ada lagi.
Sejak dulu Kampung Sawah di kota Bekasi dikenal kawasan durabilitas, wilayah toleransi beragama. Dua abad lamanya; umat Islam, Kristen bisa hidup berdampingan tanpa ada sekat-sekat pemisah. Di sana ada sambutan keramahtamahan, bentuk penyambutan misalnya, gereja dan masjid saling menyediakan lahan parkir ketika ada hari raya keagamaan dari masing-masing umat, dan rumah-rumah ibadah ini juga saling mengatur volume pengeras suara ketika ada adzan di hari raya Kristen.
Unik memang. Silaturahmi warganya dibalut corak budaya Betawi yang kental. Yang pasti pada setiap hajatan warga, ciri khas budaya Betawi terasa di sana. Berbalas pantun terus dilestarikan dalam hari-hari besar. Baju koko dan kopiah khas Betawi, menjadi pakaian umum bagi warga dari agama apapun. Ciri khas dari Kampung Sawah adalah sikap solidaritas beda agama di Indonesia, yang spiritnya perlu terus digelorakan dengan keluasan pikiran.
Sejak abad delapan belas sudah tertata kehidupan toleransi di wilayah ini, bahkan komunitas umat Kristen telah terbentuk di Kampung Sawah sejak tahun 1816. Bisa disebut orang Kristen Betawi sudah lima generasi hidup di sana.
Ada puluhan masjid dan gereja, iconnya di tiga rumah ibadah disebut segitiga emas. Ada Islam, Kristen Protestan dan Katolik dalam satu deret di Jalan Raya Kampung Sawah. Gereja Katolik Santo Servatius, Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Kampung Sawah dan Masjid Agung Al Jauhar Yasfi. Dan uniknya lagi, di Kampung Sawah terbiasa terdengar suara lonceng gereja. Dentangan lonceng gereja berbarengan dengan seruan sholat yang digemakan dari Masjid jelang magrib. Jadi terasa pembaurannya dan terasa imunitas warganya sebagai negara yang berbhinneka tunggal ika.
Masyarakat di Kampung Sawah menyebut diri "sesame saudare." Perbedaan agama tak ada masalah, terbukti memang sampai sekarang tak ada gesekan soal agama di pemukiman ini. Tentu, cara hidup bersama seperti ini tak bisa dihasilkan dalam waktu singkat, ini sudah tertata sejak lama, dinasihatkan para tetua. Tak heran Kampung Sawah layak jadi icon toleransi, bukan saja di Jawa Barat tetapi juga di Indonesia. Disini dibuktikan budaya tenggang rasa jadi pintu kita menghargai orang lain.Â
Selama berabad-abad budaya kita memang mengajarkan sopan santun, keterus-terangan dalam hidup bersama. Nilai sopan santun boleh jadi berbeda antar daerah, namun hidup menjadi lebih damai dan jauh dari pertengkaran oleh karena itu ada saling empati dan simpati. Saling menghargai, berarti mau menerima perbedaan terhadap keyakinan orang lain.Â
Tak ada tenggang rasa oleh karena tak adanya keluwesan pikiran. Jika saling menghargai niscaya ada pergunjingan diantara sesama. Rahasianya? Terkadang hal yang benar menurut kita adalah hal yang salah menurut orang lain. Jadi hargai perbedaan. Tentu jika kita saling menghargai perbedaan, niscaya terjadi damai sejahtera. Tentu, salah satu rahasianya mereka terbiasa dengan nasihat orangtua jaman dulu, saling menghargai dan menganggap orang lain adalah saudara.Â
Sikap solidaritas, adanya ruang tenggang hati seperti itu jadi imunitas warga Kampung Sawah melawan sikap intoleran segelintir kelompok yang kerap menindas. Bahkan dari seorang tokoh masyarakat di Kampung Sawah, KH Rahmaddin Afif berharap, agar warga masyarakat kampung kelahirannya, mampu terus menjaga kerukunan. Dia menekankan, agar tetap mempertahankan yang baik sebagai kampung toleransi dan Kebhinekaan. Menurutnya, masyarakat harus maju, namun jangan pernah ada celah untuk kenakalan remaja, radikalisme dan pengaruh lainnya.
Di tengah keberagamannya, lantas apa yang menjadi kunci kerukunan di Kampung Sawah? Menurut Rahmaddin, kuncinya sangatlah sederhana. Yakni kekerabatan dan hidup rukun yang terus terjaga satu sama lain. Dikatakan, di Kampung Sawah, meski beda agama, mereka tetap satu keluarga. Sehingga selalu akrab. Itu semua karena tali persaudaraan yang terus dijaga. Keponakan Rahmaddin misalnya, ada yang jadi tokoh Kristen. Adik ibunya, sekarang jadi tokoh tertua Katolik di Kampung Sawah, yang usianya sudah 90 tahun lebih.