Mohon tunggu...
Naufal Azizi
Naufal Azizi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aktif di Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta Ditengah Koma

4 Maret 2011   15:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:04 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12992531621687347453

[caption id="attachment_94336" align="alignleft" width="150" caption="Bisa jadi apa yang di prediksikan Jakarta bakal lumpuh benar-benar terealisasi"][/caption] Seperti biasa. Saya terbangun atas bisikan sang kotak ajaib. Tak lama pula bergegas mematikan dering alarm henfon. Maklum, udah dua minggu ini bangun lebih awal. Tepatnya dini hari. Kala diwaktu normal baru menarik selimut. Lekas jemput tebaran bunga-bunga tidur. Mimpi maksudnya. Kadang baca buku, kadang pula nerusin nonton tv. Kali aja ada bola. Tapi tak bakal lupa nyalain laptop ataupun browsing opera mini dari hp. Sambil berharap ada notif ataupun mention masuk. Memang, akhir-akhir ini saya terkena virus cyber terutama twitter dan facebook. Saya pun teringat atas gejala krisis politik yang sedang bergejolak di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Kicauan kencang dari dunia keempat (red. Cyber space) gak main-main. Rasanya perlu kewaspadaan tinggi di suatu negara. Dalam sekejap ratusan postulat bermateri berkumpul dan berasio. Ancaman bagi pemerintah yang coba mendikte kekuasaan. Tentu manipulasi kebijakan lah alasan utama. Revolusi kotak kata terbukti ampuh merubah suasana. Barang kali perlu ada fraksi twitter di parlemen. Biar si berkuasa gak macem-macem lagi. Bisa jadi hening malam telah membawa jauh berimajinasi. Meski tak bakal mampu direalisasi. Minimal hanya menjadi tanda. Tanda supaya berhati-hati. Sambil menunggu cerahnya pagi, setia ditemani urutan ocehan kabar dari following. Tak ada keanehan lagi selain hasrat. Hasrat membaca pastinya. Berharap pagi pun segera menjemput di awal pekan ini. Bukan semangat kuliah yang harus banyak baca dan nulis di semester ini. Toh, itu udah teinternalisasi dalam diri. Lagi pula, pekan ini saya harus merelakan tak bertatap muka di kampus. Pagi pun tiba. Segera bergegas mandi. Terus siap-siap pergi. Dua hari menjajal jadi jurnalis by phone di Kompas. Dambaan masa depan lepas dari baju formal pendidikan alias kuliah. Wajar bila menerima resiko bolos kuliah. Untungnya ini kuliah pertama. Jadi saya rasa tak penting pula disesali. Lepas dari itu, saya terpikir atas pemberitaan model transportasi sebulan ini. Akibat diresmikan koridor 9, trayek bis kota P-6 (Kmp. Rambutan-Glodok) harus rela dihapuskan. Padahal itu merupakan bis alternatif cepat menuju ke slipi. Meski rela transit berkali-kali. Tak dipungkuri juga sikap kesel atas menampungnya jumlah penumpang yang tak manusiawi. “Terus piye, enake numpak opo?”, terlintas di benak saya.Tanpa lihat konsekuensi logis dampak buruk atas kebijakan tersebut. Misalnya, ratusan sopir serta kenek pasti kehilangan kerjaannya. Pontang-panting selama ini demi meningkatkan taraf hidup mereka sekejap telah dirampas begitu saja. Namun itu bukan urusan saya. Toh, mereka gak bakal pernah ngurusin urusan orang lain. Betul nggak? Jakarta seolah merubah sikap ndeso saya. Tak ada lagi sikap saling peduli. Egois tepatnya. Apalagi jumawa beri ruang hidup bagi yang lain. Kalupun ada mungkin cuma segelintir orang. Bagi anda orang Jakarta tak perlu mengelok. Fakta seperti itu. Jadi inget, kali terakhir ngobrol ama temannya teman saya. Ia merupakan PNS Taspen. Entah ia ekselon berapa. Rasa kaget kali pertama melangkah ke kamar kosnya. Tepat disudut kamar, saya disuguhi sepeda lengkap disertai alat pengamannya. Anehnya malah teman saya yang begitu kaget. Pasalnya, ia rela menukar motornya dengan sepeda. Padahal bisa dibilang ia punya cukup uang lah untuk beli motor. Mau-maunya ia bersepeda ditengah udara kota yang tak sehat lagi. “Lah, mas kok ganti pake’ sepeda?”, tanya teman saya. “Gak capek apa mas?” timpal saya. Senyum manis pun ia tebar. “Gak pengen aja sambil olahraga”, jawabnya. “Asyik mas ya..bisa ngurangin polusi?” lanjutku. Tak lama kemudian ia tangkas dengan satirannya “Hehehe..Ya bener ngurangin polusi tapi malah kena polusi”. Bisa jadi obrolan tersebut sebagai bukti. Bukti keangkuhan orang lain di kota ini. Sambil jalan menuju belakang kampus. Buru-buru kejar waktu. Tiba pula di shalter unj. Untung tak lama kemudian datang P64. Biasanya bisa sejam atau duajaman nunggu tuh bis. “Baguslah bisa on-time nih gw nyampe’ sana, gak perlu transit pula”, syukuri saya. Masuklah saya ke tuh bis. Tak lama jalan bis itu berhenti. Eh, ternyata macet. Tepatnya di jalan Pramuka sampai proklamasi. Setau saya sih jalan ini gak pernah macet apalagi jam pagi. Atau mungkin karena saya gak tau. Wajar, biasanya pagi kan kuliah. Singkat cerita, tibalah saya dikompas. Sambil nunggu yang lain. Kebetulan belum dimulai. Saya meleyehkan badan saya di depan sofa tunggu. Tepat depan ruang polling. Entah kenapa rasanya hari itu muak liat transportasi Jakarta. Kebetulan pula. Ya, ada yang berubah diruang tersebut. Pajangan headline surat kabar. Ternyata sudah diganti. Saya langsung menatap. Lagi-lagi dua foto headline menyajikan busway. Tidak salah lagi pasti mengamati permasalahan transportasi Jakarata. Dugaan saya pun jitu. Tak ada hal baru. Berhentilah saya membaca. Sajian koran kompas hari senin (21/2/11) tergeletak dimeja. Saya mengambilnya.  Lembar per lembar pun gak saya lewati. Hal unik datang dari rubrik bisnis dan keuangan. Revolusi dari kota solo. Itu judul tulisannya. Tak jauh-jauh mendiskripsikan tentang transportasi. Seolah tak mau menginduk ke Ibu kota. Kota ini punya kekreatifan tersendiri. Mengantisipasi kemacetan, solo meluncurkan bis tingkat, Trans-Batik dan kereta api di tengah kota. Langkah bagus. Tak salah jika antusias warga luar biasa. Jam udah menunjukkan pukul 10 tapi masih juga belum di mulai. Nyambi nunggu, saya liat ada yang lagi benerin lampu kecil di samping kasir. Akhirnya saya samperin. Sekalian pengen baca “KOMPAS” cetak edisi pertama. Butuh perhatian ekstra untuk baca. Selain tulisan yang mulai pudar. Bahasanya pun pake bahasa EYD. Kolom per kolom saya baca. Dan lagi-lagi (jadi heran sendiri) di edisi pertama ini, kompas juga menyorot transportasi. Tapi transportasi Internasional. Masih belum ada pembagian rubrik. Berita itu menggambarkan bagaimana sejak tahun 1945, kegelisahan kota Roma, Tokyo, India atas meningkatnya transportasi pribadi dan menyempitnya jalan-jalan di kota besar. Kemacetan pun tak dapat dihindari. Mereka pun mulai mencari solusi. Rasanya Jakarta telah telat belajar. Apa emang gak mau belajar. Cakap-cakap saat pulang ama teman. Kebijakan adalah kuncinya. Ditambah gaya hidup orang yang pengen wah. So, we know that traffic jam has made lost everything. It contributes someone to produce more time, money even health. When some media or experts predict Jakarta would be paralyzed in 2020 is probably. Perhaps no enough space brain to solve it cuz it is very complicated. To end, saya tergelitik sendiri inget hari itu. Rasanya transportasi massal make me stressful. But, saya jadi teringat kamis lalu. Saat baca esai sastra Umar Kayam “Mangan Ora Mangan Kumpul ” Edisi 4.  Ia manggambarkan suasana Jakarta dikala tiba hari Senin. That’s our beloved a capital city. Kondisi dimana selalu dibayang-bayangi koma. Tak pernah ada titik dan selalu memunculkan tanda tanya. Tak pernah mau hidup. Dan Enggan pula mati. Freak Policy is the core key. Stop…Do less, Attractive more !!!  Waiting  a moment always.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun