Mohon tunggu...
Naufal Azizi
Naufal Azizi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aktif di Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

(Ter)Alienasi dalam Alienasi

23 Desember 2010   08:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:28 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Naufal Azizi* “Jika Anda hidup tanpa mempelajari kehidupan, maka hidup Anda tidak layak disebut sebagai kehidupan” (Sokrates) Kehidupan manusia dengan rangkaian aktivitas diselimuti pola penuh keragaman dan tercermin pada diri individu sendiri selalu memberikan detak kagum. Capaian-capaian tak terlampui dizamannya bahkan menjadikan manusia seolah menjadi mesin ruh lepas landas. Ketaksanggupan kadang memberikan kesempatan membuka ruang bagi manusia mencari keidealan. Pun halnya kala manusia hanya sebagian entitas kecil yang tak mampu bergerak. Manusia selalu dituntut serta didukung akan pemberian hasrat keingintahuaanya. Pancaran relatif selalu dikaitan dengan kebekuan pandangan. Kondisi ini saya fahami atas satu kata Alienasi. Dalam bahasa sederhana saya, alienasi ini sebagai wujud dari keterasingan. Saya tak coba untuk mencari siapa dibalik benteng pelopor alienasi. Saya pun tak coba mengkorelasikan kedalam mata rantai historis. Apalagi hanya disibukkan untuk memasuki ranah-ranah terminologi. Bahkan ketertundukkan mensintesiskan dalam segi epistimologi. Anda mungkin memungkiri lantaran tuntutan akan keformalan. Harusnya saya begini dan begitu. Terpenting, kata alienasi yang coba didiskusikan dengan menggunakan dialog melalui proses dialketika sudah terinternal dalam alam sadar. Bangunan diskusi malam itu dengan tema “ekonomi, pendidikan dan alenasi” mampu menembus kesadaran akan pentingnya sebuah spektrum tanpa juga mengesampingkan suatu momentum. Bagi saya dalam membahas alienasi ada dua kata kunci pokok yang berhubungan, yakni kritisisme dan materialisme. Secara historis kefilsafatan, sikap kritis dimulai semenjak masa Immanuel Kant kala ia mampu menjembatani  pandangan secara proporsional antara rasionalisme dengan empirisme sehingga ia pun membagi dua dimensi yakni fenomena dan noumena. Dimensi noumena inilah secara implisit memberi ruang mengenai hal-hal metafisika meski jauh pada masa klasik Yunani sudah disinggung. Filsuf-filsuf sesudahnya, termasuk Friedrich Hegel bahkan telah merinci dengan penjelasan filsafat rohnya. Selanjutnya filsafat roh telah mampu menyiratkan makna alienasi. Makna alienasi yang dimaksud adalah keterasingan atas tubuhnya. Kemudian alienasi diperjelas secara sistematis oleh Karl H. Marx dengan pandangan realitas sosial atas kondisi ekonomi Jerman saat itu. Sikap kritis Marx atas pondasi ekonomi manusia terlampir dalam Manifesto Komunis dan Das Capital. Intinya, manusia akan selalu terpengaruhi akan kebutuhan materiil semasa hidupnya. Manusia akan hidup dalam kesejahteraan bila mampu memenuhi kebutuhan ekonominya melalui cara-cara bersama. Selanjutnya ia pun membagi kedalam lima (5) fase zaman. Diawali komunisme primitif, selanjutnya berubah ke dalam fase perbudakan. Setelah itu akan memunculkan feodalisme dan berkembang menjadi kapitalisme yang kita tahu sedang mengakar sebagai trending topic bagi perekonomian tiap negara. Khususnya negeri ini yang lagi pesakitan. Difase inilah alienasi menjadi ciri khas. Fase terakhir yang diramalkan oleh marx adalah komunisme yang tak dapat dihindari. Kondisi yang sudah tergambarkan diatas, erat kaitannya dengan kata kunci alienasi kedua yakni, materialisme. Alternasi Alienasi Alienasi sendiri bagi Marx terbagi atas empat bagian, antara lain: alienasi diri sendiri akibat dijadikan objek orang lain, alienasi naluri manusia yang bebas berekspresi, alienasi atas produk yang dihasilkan, dan alinasi atas sesama buruh. Namun, menurut saya apa yang sudah Marx prediksikan semuanya tak bakal berjalan sistematis atau runut. Menarik dicermati apabila dikaji melalui sebuah pendekatan proses perubahan sejarah. Proses perubahan sejarah sendiri saya simpulkan menjadi dua bagian, yaitu: perubahan yang mengalami perulangan (cyclic) dan perubahan yang mengalami kemajuan (progress). Perubahan pertama yang biasa dikenal siklus. Dalam perubahan siklus, alienasi ini bisa terjadi layaknya gejala perubahan waktu yang selalu konstan dari pagi sampai malam, sementara perubahan siklus lain seperti perkembangan fisik manusia dari bayi, anak, dewasa dini ke dewasa tua. Misal, penjelasan alienasi Marx yang ditafsirkan juga Engels diabad 18 disinggung kembali oleh Tan Malaka pada abad ke 19. Dan kembali terulang diabad ke 20 oleh para pemikir. Semisal Goenawan Mohammad yang mengulas hal tersebut saat saya berselancar di TwitterLand. Termasuk saya sendiri yang hadir meski dengan tulisan sederhana ini. Semua itu merujuk pada alienasi. Materi terus mengikat diri. Alienasi kedua tentang progress. Menentukan kemajuan sebuah alienasi. Dimana proses alienasi ini akan senafas dengan paparan Marx dalam pembagian fase zaman. Walaupun masih dalam jalur alienasi tapi disetiap zaman tentunya memiliki tipikal alienasi yang berbeda. Entah itu sebab akibat ataupun bentuk yang melatarbelakanginya. Tan Malaka semisal. Meski ia kembali menfasirkan konsepsi pemikiran marxisme dari Engels (Fanz Magnis S:2006) tapi bagaimana ia dalam “Madilog” mampu meracik asketisme intelektualnya dengan kekhasannya menambah logika dan dialketika supaya mengubah cara pandang orang Indonesia terhadap kepercayaan hal-hal mistika. Ia mensiratkan untuk tidak teralienasi dengan ilmu pengetahuan. Meski sampai detik ini masih sulit terhidarkan dari sebagian masyarakat Indonesia. Sebagaimana terepresantasikan dalam kasus evakuasi warga dalam musibah gunung merapi. Tapi, ratusan atau ribuan kedepan mungkin saja dinamika alienasi akan musnah kala semua manusia Indonesia tanpa terkecuali memiliki pengetahuan dan ekonomi yang mapan. Itulah sejarah kita tak mungkin melepaskan dua dimensi yakni, ruang dan waktu. Yang paling menarik untuk dicermati bahwa aktor utama dalam alienasi ini adalah si individu itu sendiri. Apapun realita sosial yang ada alienasi kembali pada manusia. Memahami manusia itu serba unik. Horizon manusia yang penuh ambisi dan materialis sulit untuk dikendalikan. Manusia terus mencari eksistensinya demi kelanjutan hidupnya. Nietzsche menjelaskan manusia bebas memilih dan merealisasikan hidupnya karena manusia mencipta hidupnya sendiri. Beda lagi dengan Kierkegaard bahwa hubungan pribadi dengan tuhan itu penting. Lain halnya juga dengan Heidegger yang menyebutkan manusia itu bukan individu yang terisolisir dan butuh kebersamaan. Dari situ dapat ditarik secara garis beras bahwa kecenderungan alienasi manusia itu ada dua, yakni kecenderungan religious dan kecenderungan humanis. Lima tipologi unik Dari pertanyaan nakal oleh salah satu empat manusia yang masih bertahan dalam diskusi malam itu, menggelitik bagi saya dan yg lain untuk lebih lanjut mengembangkan dialketika kami sehingga kami mampu bereksperimen dengan menafsirkan beberapa hal yang mempunyai hubungan klausal meski saya akui variabelnya sedikit ngacak. Varibel itu antara lain melibatkan diri sendiri, tuhan dan orang lain. Kelima tipe unik ini mempunyai tata letak pencarian alienasi yang berbeda, diantaranya:

  1. Kenal diri sendiri, Kenal Tuhan

Maksud dari tipe pertama, bahwa jika kita mengenal diri sendiri maka nilai-nilai yang ada dalam diri sendiri ini akan merepresentasikan tuhan kita. Kita akan bisa menggali siapa itu tuhan kita. Tapi bagi saya manusia seperti ini sungguh bukannya tanpa alienasi. Memang saya akui bahwa kita yang tadinya hanya mengenal tuhan dengan nilai-nilai baik dan selajutnya menginternalisasi ke dalam diri. Hal ini diperkuat oleh Feurbach bahwa tuhan itu hanyalah entitas-entitas baik. Jadi bagi kita tuhan itu Maha yang baik. Namun, ketika tuhan itu baik bukannya malah menafikkan sifat tuhan yang segalanya. Terus kita secara tidak langsung akan teralienasi oleh diri kita sendiri nilai apa yang dihasilkan diri kita. Apakah kita hanya mesin yang hanya dikasih ruh sebagaimana Descrates bilang. Ditambah lagi nilai-nilai baik orang lain yang tak ada dalam diri kita. Bagaimanakah?

  1. Kenal orang lain, kenal diri sendiri

Dalam tipe kedua ini, manusia mencoba mengenal diri sendiri  dengan terlebih dahulu mengenali orang lain. Awalnya kita akan melihat dulu sifat-sifat universal nilai orang lain dengan memandang bahwa manusia itu adalah makhluk sosial. Maka dengan begitu kita akan mengenal siapa diri kita. Terus, tipe manusia ini bukan juga terlepas dari alienasi. Karena jika manusia merepresentasikan orang lain yang beragam dalam diri, akan  susah menentukan siapa diri ini sebenarnya dan akhirnya ia pun terasingkan sama dirinya sendiri. Contoh: Mbah Maridjan dilihat dari prespektif humanis berlebihan tanpa mempertimbangkan diri dalam merespon bencana alam.

  1. Kenal tuhan, tak kenal diri sendiri

Maaf, Langsung ke Sidharta Gautama misalnya. Bagaimana ia terlahir dan dibesarkan di lingkungan “agamawan”. Akan tetapi, konstruksi kaum agamawan saat itu yang hanya sebagai kaum “taqlid buta” atau primordial mendorong Sidharta Gautama untuk mencari makna sesungguhnya. Sehingga dari postulat serta perenungan yang ia lakukan melahirkan sebuah agama baru dan menjadikan ia sebagai tuhan. Dari situ dapat lihat, bagaimana ia akhirnya teralienasi dengan diri sendiri. Alienasi ini merupakan anitesis dari Nietzsche yang teralineasi dari tuhan.

  1. Kenal diri sendiri, tak kenal orang lain

Einstein, orang satu ini saya akui merupakan pemikir terhebat pada zamannya bahkan hingga saat ini. Einsten mampu merumuskan banyak hal tentang hal-hal sains bahkan berhubungan dengan sosial. Tapi dibalik kecerdikannya ia juga mempunyai masalah dengan psikologi pergaulan sosialnya. Kita sering lihat sosok Einstein dalam poster selalu dengan background rumusan matematis. Ia pun juga akhirnya lebih memilih mengurung di dalam laboratorium ketimbang berhubungan dengan orang lain.  

  1. Tak kenal semuanya

Tipe yang terakhir ini, tipe yang paling teraelinasikan karena dalam kehidupannya ia tak mengetahui siapa dia dan siapa mereka. Tipe ini biasanya dimiliki oleh orang-orang yang kehilangan rasionalitas dan kesadaran. Ambil contoh man mad atau mungkin pembaca punya contoh lain. Dari beberapa tipologi di atas, saya tak mau terperangkap dalam pemikiran klasik untuk mencari tipe mana yang paling baik. Toh, dari semua tipe itu alienasi masuk kedalamnya. Yang penting untuk dipelajari adalah bahwa alienasi itu bakal terjadi pada semua individu manusia dan tak mungkin lepas darinya. Dari situ, saya juga faham bahwa alienasi juga terbagi atas dua kategori yaitu, alienasi positif dan negatif.  Misal alinenasi dalam konteks ke LKM-an. Saat mengenal pertama kali LKM dan awal-awal perjalanan di LKM, saya merasa terallienasi dengan budaya LKM (baca, nulis, diskusi) karena saat itu keengganan melakukan hal semacam itu. Tapi setelah lama dilalui minimal saya senang akhirnya mau baca buku dan bisa menghadirkan tulisan ini dihadapan anda. Itulah positifnya bagi saya atas keterasingan pengetahuan. Selanjutnya, alienasi negatif bisa anda cari dari empirisme penulis selanjutnya. Poin terpenting dari alienasi adalah bagaimana kita menimbulkan proses kesadaran diri dan mampu tanggap atas kesadaran tersebut. Merubah diri sebagai jalan keluarnya. Saya mengalami bahwa ada kalanya saya menentukan timing untuk tidak menulis karena pencapaian akan target. Konsekuensi yang didapatkan saya dalam beberapa kurun waktu tak mampu menghasilkan tulisan dan merasakan kesulitan luar biasa untuk mengawali menulis karena keterikatan yang begitu kuat dalam tataran hedonis. Overall, saya sejalan dengan mereka bahwa pangkal alienasi itu materi. Tapi saya juga tidak mau selalu mengikuti mereka karna akan mengalienasi diri saya sendiri untuk tidak bisa menjadi diri saya sendiri karna ketergantungan. Begitu sebaliknya jika saya telalu asyik dengan diri saya tanpa menghiraukan pandangan mereka maka saya akan teralienasi dari  pengetahuan dan pengalam diri mereka. Inilah yang saya maksud dari judul diatas. Sekali lagi, kesadaran akan proporsi. *Tulisan sederhana ini muncul atas respon tulisan “ekonomi, pendidikan dan alienasi”. Maka saya mengaharapkan respon anda secara subtantif ataupun yang lain. Tapi jika anda tak merespon apalagi mengabaikan tulisan ini, maka anda akan teralienasi dengan pengetahuan (hal) baru karna mungkin ini penting bagi kehidupan anda. Sebaliknya, bagi pembaca yang sudah membaca tulisan ini hanya sekedar “like this” maka anda termasuk orang yang teralienasi dengan kepintaran anda tanpa mengetahui sebenarnya apa itu alienasi. Dan bagi anda yang lebih berpengetahuan dari pada saya tanpa merespon, anda akan teralienasi akan tanggung jawab anda sebagai ilmuwan tanpa menggali atau mengontrol lagi pengetahuan anda. Ataupun anda bersiloloqui, anda akan teralineasi oleh dunia maya. Terakhir, jika anda setelah baca, bisa berdiskusi dengan saya (menjawab dengan sebuah tulisan) maka anda akan teralienasi dari kebodohan. Alienasi ini pilihan tapi penulis tak mau men-judge. *Manusia Pembelajar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun