Tanggal 18 April merupakan hari istimewa bagi bangsa Indonesia. Bertepatan pula pada hari Senin, Presiden Sukarno berpidato di hadapan para delegasi negara-negara Asia dan Afrika untuk membuka acara Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Gedung Merdeka Bandung. Kala itu almanak menunjukkan tahun 1955.
Roeslan Abdulgani, salah seorang staf Departemen Luar Negeri Indonesia yang berperan penting dalam persiapan maupun pelaksanaan KAA menulis dalam buku The Bandung Connection (2018), bahwa dipilihnya tanggal 18 April sebagai waktu pembukaan KAA menyimpan sebuah kenangan menarik.
Kejepit antara Dua Waktu Sakral Umat Beragama
Pada awalnya KAA hendak dibuka pada pekan terakhir April 1955. Akan tetapi, setelah memeriksa kembali almanak, pekan terakhir April tahun itu, sekitar 24 sampai 25 April 1955 sudah masuk bulan suci Ramadhan. Panitia khawatir apabila negara-negara dengan mayoritas umat Islam tidak berkenan hadir.
Panitia mencoba untuk melihat kemungkinan lain pada pekan kedua atau ketiga April 1955. Namun, rupanya tidak memungkinkan juga pasalnya 15 April 1955 bertepatan dengan hari suci agama Budha. Kemungkinan besar negara-negara seperti Burma, Thailand, dan negara-negara Indochina lainnya tidak akan menghadiri KAA.
"Kita merasa berada di tengah-tengah 'jepitan' antara hari sucinya agama Budha dan agama Islam: Tak ada pilihan daripada menentukan 18 April 1955, hari Senin, sebagai tanggal pembukaan konperensi", tulis Roeslan.
Dengan hanya ada satu opsi waktu yang paling memungkinkan, panitia konferensi berharap agar KAA dapat selesai pada 23 April 1955.
Ide Brilian Roeslan Abdulgani
Kenangan menarik lainnya yang diceritakan Roeslan Abdulgani selama masa persiapan KAA ialah soal munculnya kekhawatiran dari media-media Amerika Serikat. Ia mengisahkan, sebelum KAA dimulai, muncul narasi di Amerika bahwa kolonialisme dan imperialisme Barat bakal menjadi satu topik yang menjadi bahan bulan-bulanan peserta KAA di Bandung.