Tak banyak yang menyadari, sesungguhnya Agus Salim (1884-1954) merupakan salah satu tokoh besar Indonesia yang berasal dari keluarga yang amat berkecukupan. Ayahnya adalah seorang pejabat tinggi Kolonial (hoofd djaksa)Â di Riau yang memiliki gaji cukup tinggi. Sebagai pejabat tinggi Kolonial, Â ia memiliki previlege untuk menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah elit Belanda. Dalam hal ini, Agus Salim adalah bukti perwujudannya.
Agus Salim disekolahkan di sekolah elit Belanda ELS (Europeesche Lagere School) dan HBS (Hogere Burger School). Dua jenjang sekolah tersebut merupakan lembaga pendidikan Pemerintah Kolonial yang eksklusif ditujukan bagi kalangan bangsa Eropa dan Timur Asing di Hindia Belanda. Kalau pun ada dari kalangan bumiputra, biasanya mereka berasal dari keluarga pejabat tinggi.
Agus Salim menempuh pendidikan awal di ELS Riau, kemudian dilanjutkan ke HBS di Batavia. Sewaktu duduk di HBS, Agus Salim tercatat sebagai pelajar terbaik HBS se-Hindia Belanda. Dengan begitu, putra kelahiran Minang ini mampu melampaui prestasi kawan-kawan Eropa-nya. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena Agus Salim terbukti memiliki talenta yang luar biasa. Salah satunya adalah mampu menguasai sejumlah bahasa asing (poliglot).
Agus Salim yang tumbuh di tengah keluarga elit yang biasanya mempraktikan gaya hidup ala orang Eropa ditambah lagi dengan pergaulannya bersama orang-orang Eropa di sekolah, secara langsung maupun tidak, turut memengaruhi alam pikiran dan cara pandangnya terhadap kehidupan. Termasuk dalam hal ini ialah cara pandang dan keyakinannya terhadap agama yang dianutnya;Cara pandang Barat yang mengesampingkan agama dari kehidupan nyaris membuat keimanan Agus Salim hilang. Ia pernah sampai pada satu keadaan tidak percaya terhadap Islam. Agus Salim pernah merasa bahwa keislamannya hanyalah bawaan dari lingkungannya saja. Sebagai putra yang lahir di Minang yang mana kedudukan adat yang bersumber dari nilai-nilai Islam sangat berpengaruh terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat Minang membuat Agus Salim merasa agama Islam hanya sekadar bonus dari takdir hidupnya.
Suatu waktu ia pernah direkomendasikan oleh ayahnya untuk mempelajari Islam dari karya-karya seorang Belanda, C. Snouck Hurgronje dengan tujuan untuk membangkitkan perasaan yakinnya terhadap Islam. Akan tetapi, yang ia rasakan justru tidak menambah perasaan yakin terhadap Islam.
Kekeringan batin Agus Salim secara perlahan mulai mereda manakala ia diangkat menjadi pegawai konsulat di Jeddah, Hijaz pada 1906 oleh Snouck Hurgronje. Profesi yang tak pernah terpikirkan sama sekali oleh Agus Salim itu mengantarkannya untuk belajar memahami Islam secara lebih dalam. Tak pelak lagi, ia belajar Islam dari tempat sumber lahirnya Islam.
Suradi dalam Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam (1997) menerangkan bahwa melalui profesinya itu Agus Salim banyak mencurahkan waktunya untuk mempelajari Islam melalui sumber kepustakaan yang otentik dan para ulama besar.
Di sana, Agus Salim belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi juga ulama lainnya yang notabene sudah dipengaruhi paham modernisme Islam karena pada saat itu paham pembaharuan Islam yang digelorakan oleh Al-Afghani, Abduh, dan Rasyid Ridha sedang menjadi tren di kawasan Timur Tengah.
Agus Salim sebagai seorang intelektual yang jenius berhasil mempelajari Islam di tanah Hijaz. Setelah lima setengah tahun bekerja di tempat sumber lahirnya Islam, ia merasa ada perubahan yang signifikan di dalam batinnya terhadap Islam. Berkenaan dengan ini, Agus Salim menyatakan:
"Itupun di dalam masa lima setengah tahun kediaman saya di Hijaz lima kali saya mengerjakan Haji. Adapun di dalam masa beberapa tahun itu sikap saya terhadap agama, daripada tidak percaya menjadi syak dan daripada syak akhirnya menjadi yakin, mengaku keadaan Allah dan agama Allah."