Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) menimbulkan banyak pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, pasalnya kebijakan yang diundangkan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024, pada 20 Mei 2024 ini dianggap menjadi ladang subur bagi tumbuhnya penyalahgunaan dana.
Kecurigaan masyarakat diperkuat dengan adanya kewajiban bagi seluruh pekerja baik ASN maupun non-ASN untuk ikut serta menjadi peserta TAPERA dengan standar berumur minimal 20 atau sudah menikah dengan penghasilan sebesar upah minimum sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 PP No 21 Tahun 2024, dengan potongan gaji sebesar 3% per-bulan. Meski pemerintah sendiri sudah berulang kali menegaskan bantahannya atas tuduhan penyalahgunaan dana Tapera, apakah ucapan itu dapat dipercaya?
Tapera ternyata bukan pertama kali dilaksanakan di Indonesia. Pada tahun 1993, pemerintah mengeluarkan undang-undang Keppres No. 14 Tahun 1993 terkait Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (TAPERUM-PNS) yang berlaku mulai tanggal 15 Februari 1993. Taperum-PNS sendiri membantu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam membayar uang muka rumah dengan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan membantu sebagian PNS dalam membangun rumah di tanah tempatnya bekerja.
 Adapun iuran dikenakan langsung melalui pemotongan gaji dalam tempo setiap bulan kepada PNS dengan jumlah nominal yang berbeda-beda tergantung ekonomi masing-masing yang dibedakan menjadi 4 golongan; Golongan 1 sebesar Rp3.000,00, Golongan 2 sebesar Rp 5.000,00, Golongan 3 sebesar 7.000,00, dan Golongan 4 sebesar Rp10.000,00.
Adapun sasaran bantuan dana tersebut, mengarah kepada PNS yang memiliki penghasilan menengah atau rendah, dengan nominal peminjaman yang berbeda-beda pula tergantung golongan mana PNS tersebut berada. Golongan ini terbagi kepada tiga; Golongan 1 sebesar Rp. 1.200.000,00, Golongan 2 sebesar Rp. 1.500.000,00, dan Golongan 3 sebesar Rp. 1.800.000,00.
 Namun tidak setiap PNS dapat menggunakan dana bantuan tersebut. Dana bantuan hanya dapat digunakan setelah 10 tahun masa kerja bagi Golongan 1; masa kerja 12 tahun bagi Golongan 2; dan 15 tahun masa kerja bagi Golongan 3. Dana bantuan tersebut diambil dari 60% tabungan yang diperoleh dari peserta Taperum-PNS yang disalurkan melalui rekening Menteri Keuangan atas nama Bapertarum-PNS, sedangkan 40% sisanya didepositokan.
Dalam praktiknya, ternyata pelaksanaan Taperum-PNS ini tidak selalu berjalan begitu mulus. Ada beberapa kendala di berbagai daerah yang melaksanakan kebijakan Taperum-PNS ini. Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat contohnya. Berdasarkan rentang waktu sejak taun 2005 hingga 2012, penerapan Taperum-PNS disana menghadapi berbagai halangan. Pertama, pengorganisasian tim yang dibentuk Bupati belum teroorganisir dengan baik, dengan tampaknya ketidakpahaman tim tersebut yang memengaruhi kerjasama dan koordinasi yang kurang baik.
 Kedua, minimnya sosialisasi terhadap bantuan Taperum-PNS ini, baik dari informasi Taperum-PNS itu sendiri maupun mengenai persyaratan dan proses penggunaannya. Ketiga, sumber pendanaan yang lemah, tidak sebanding dengan harga rumah yang ada. Keempat, harga rumah yang masih relatif tinggi, sehingga perlunya komitmen lanjutan pemerintah untuk tak sekedar memberi dana bantuan saja, melainkan memberi subsidi juga dalam pembelian rumah. Kelima, proses memperoleh rumah Taperum-PNS yang memakan waktu lama.
Pada Kota Malang, Taperum-PNS juga kembali mengalami hambatan-hambatan ketika menerapkannya. Pemerintah menentukan penjualan perumahan, sedangkan pasar diberikan wewenang menentukkan proses pembangunan, yang kedua hal ini dianggap merugikan PNS berpenghasilan rendah-menengah yang belum memiliki rumah. Kendala lain yang terjadi adalah; Pertama, tanah wilayah kota yang mahal. Ketika pemerintah membeli suatu tanah di kota tersebut dan kembali menjualnya, tentu akan memberatkan PNS yang notabene berada dalam golongan 1 dan 2.
 Kedua, infrastruktur mahal. Infrastruktur adalah penunjang pemukiman agar dapat dihuni dengan nyaman. Jika infrastruktur dasar, seperti jalan, tidak terpenuhi karena mahalnya biaya, tentu memengaruhi minat PNS, sebagai pasar, untuk membelinya. Ketiga, biaya listrik mahal. Listrik merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat, apalagi bagi PNS, sehingga butuh pembiayaan listrik bagi perumahan yang akan dibangun, namun tentu biaya listrik juga sangat mahal. Keempat, minimnya sosialisasi TAPERUM-PNS.
Kita juga tidak dapat menutup mata bahwa Taperum-PNS ini memiliki andil, setidaknya bagi 9.423 PNS yang menggunakan Taperum-PNS sebagai uang muka, biaya bangun rumah, dan tabungan pensiun dengan nominal senilai RP4,4 Milliar dari tabungan negara dari total Rp 352,8 Milliar, sebagaimana ditulis Historia.id.