"Turunkan Bendera Itu!" katanya kepada kaum pejuang. "Karena kita tidak mendapat perintah resmi dari Dai Nippon!"Â begitulah teriak Sarimin Reksodihardjo seorang Bupati Brebes kepada para pejuang yang tengah menaikan Merah-Putih di kantor Pemerintah Kabupaten dan tempat publik, saat pertemuan kelompok nasionalis di Brebes pada tanggal 22 Agustus 1945. Â
Sikap demikian di masa kemerdekaan jelas menandai keraguan seorang pemimpin akan makna proklamasi yang baru saja dikumandangkan beberapa hari sebelumnya. Keraguan tersebut tentu tidak hanya terjadi di Kota Brebes saja, melainkan juga terjadi pada beberapa daerah lainnya di Indonesia.
Sebagai seorang Bupati, Sarimin percaya bahwa proklamasi tidak memiliki makna apapun, ia mempercayai bahwa Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia-Gunseikanbu-masih memegang kendali tertinggi atas segala kebijakan yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan. Sikap ini bahkan sudah sempat ia ungkapkan sebelum Proklamasi dikumandangkan. Pada sebuah sidang pertemuan Jawa Hokokai dan Shu Sangi Kai (Dewan Penasehat Keresidenan) di Pekalongan, seorang pimpinan Putera (Pusat Tenaga Rakyat) cabang Pekalongan tersohor bernama Kromo Lawi bercerita mengenai sikap keraguan Sarimin atas berita proklamasi yang santer terdengar
"Saya ditertawai Sarimin di sebuah rumah, kita kumpul di sana dengan beberapa bupati, kemudian saya ceritakan tentang proklamasi itu. Nah saya ditertawai, karena katanya ya yang bisa memerdekan kita itu adalah negara yang menang ujar Sarimin cs, sehingga dia tidak percaya umpamanya saya.. kita ini bisa merdeka. Bagi Sarimin yang bisa memerdekakan adalah yang menang perang pada waktu itu, yakni Amerika. Sebab Jepang sudah jatuh, dan tidak bisa memberi kita hak kemerdekaan. Mereka tidak mengerti bahwa Proklamasi ini adalah dari sanubari rakyat Indonesia sendiri"
Sikap keraguan Sarimin akan proklamasi yang baru saja terjadi juga rupanya tetap ia pertahankan pada sebuah pidato saat perjalanan dinasnya di Kewedanaan Banjarharjo, Sarimin tetap pada pendiriannya bahwa kemerdekaan itu bergantung pada pihak yang memenangi perang dunia kedua, siapapun yang menang dialah yang memutuskan merdeka atau tidaknya Indonesia.
"Bagaimana sikap sekutu saja nanti, kita tidak menang, yang menang Sekutu, tunggu saja nanti sikap dari sekutu. Memang kalau sekutu menginginkan kita merdeka, kita merdeka. Merdeka atau tidak merdeka, yang perlu sekarang aman dan tentram" ujar Sarimin
Sikap kontroversial Bupati Sarimin yang terkesan apriori terhadap kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia tentu saja mengundang kemarahan dari kaum revolusioner yang terdiri dari para pejuang kemerdekaan. Belum selesai pidato diumumkan, banyak hadirin yang meninggalkan tempat duduknya. Pidato tersebut jelas mengundang kemarahan kaum santri karena dianggap tajam dan melukai semangat nasionalisme mereka. Sewaktu meninggalkan kewedanaan ia sempat berusaha untuk diculik tapi gagal.Â
Kartohargo seorang senior pergerakan nasional yang juga menjadi ketua KNI dan Barisan Pelopor (organisasi sayap dari Jawa Hokokai juga loyalis Soekarno) cabang Brebes, dikenal paling keras menentang sikap Sarimin yang tidak pro kemerdekaan. Menurutnya, pada sebuah pertemuan di Pendopo Kabupaten Brebes, Sarimin mengupas soal peperangan dan proklamasi dimana ia mengemukakan belum bersedia membenarkan serta mengumumkan Proklamasi. Â Bahkan ketika itu Bupati Sarimin mengatakan;
 "Apakah artinya Proklamasi yang hanya ditandatangi oleh dua orang saja (Soekarno-Hatta)?
Sampai pada akhir Agustus 1945, Sarimin percaya bahwa Proklamasi tidak memiliki makna apapun hingga Jepang secara resmi menyerah terimakan kekuasannya kepada Indonesia. Akhirnya pada tanggal 27 September 1945 setelah Jepang menyerahkan kekuasaannya dan berkat instruksi Mr Besar yang ketika itu menjabat sebagai Residen Pekalongan, Sarimin baru menyetujui pengibaran bendera Merah-Putih.Â
Sikap ini tentu mencerminkan perasaan dilematis seorang Sarimin yang harus dihadapkan pada dua pemerintahan berbeda pada waktu yang cukup singkat, hal ini terjadi akibat keterbatasan pusat dalam menyiarkan kabar soal proklamasi ke tingkat daerah. Â Tentang ini, Sarimin kemudian memberikan alasan dalam surat tertulis yang bersifat penjelasan (veklaring) tertanggal 23 Januari 1946 yang ditujukan pada Residen Pekalongan. Ia menuliskan mengenai sikapnya yang dianggap tidak nasionalis sekaligus menerangkan mengapa ia sempat tidak percaya akan berita proklamasi yang dibawakan oleh Kromo Lawi pada Agustus 1945:
"Pada saat itu seorangpun tak ada yang tahu benar tentang seluk-beluknya  Prolamasi. Tuan Kromolawi yang habis dari Jakarta menerangkan bahwa Proklamasi belum berisi masih wujud ideologis, belum mempunyai wujud yang nyata. Belum wujudnya sesudah diadakan pelimpahan kekuasaan dari Jepang kepada Pemerintah Indonesia yang harus dilakukan dengan seksama . Sebelum pelimpahan itu dapat dikatakan belum ada perubahan apa-apa... Sikap dan pendapat demikian jika ditimbang sekarang (Januari 1946) memang benar salah, tetapi seharusnya ditimbang dengan pengertian (keadaan) pada saat itu juga" ujar Sarimin.
Situasi semacam ini tentu tidak hanya ditunjukkan oleh kalangan pemimpin lokal atau pangreh praja saja, melainkan juga tergambarkan pada sikap sebagian besar kaum tua elite yang tidak ikut serta dalam gerakan kemerdekaan. Sudah menjadi rahasia umum (publiek gedenheim) bahwa perilaku yang ditunjukkan sebagian besar kaum tua tersebut disebabkan pengaruh dari lingkungan dimana mereka tumbuh dan tinggal. Umumnya mereka berangkat dari keluarga priyai yang tak jarang turut mengenyam privilage berupa fasilitas mewah dalam hidupnya. Sebagai sebuah kelompok yang serba kecukupan, tentu banyak dari mereka yang terbiasa dengan hidup serba berkecukupan sehingga wajar apabila mereka dirasa tidak siap menghadapi perubahan sosial yang cukup radikal. Perilaku yang menggambarkan akibat dari kehidupan  serba mapan ini juga tergambar secara jelas pada pidato Sarimin di Banjarhajo yang menggambarkan carpe diem dalam imaji dan prinsip hidupnya.
Selain faktor tadi kegamangan yang di alami Sarimin juga disebabkan oleh sikap Jepang yang terus mengelak atas kekalahannya dengan sekutu, sehingga banyak dari para pemimpin lokal yang sebelumnya bekerja di bawah pemerintahan Jepang bingung dalam mengambil sikap. Keterlambatan pusat dalam mengordinir kepemimpinan di daerah juga menjadi sebab mengapa banyak dari pemimpin lokal cenderung menunggu pilihan akhir, dan memilih bersikap hati-hati dalam merespon proklamasi. Para Pangreh Praja yang tidak tahu apa yang harus diperbuat karena ketiadaan instruksi-instruksi dari atasan, selalu mengedapankan sikap birokratis dan diplomatis sebari menanti perintah dari atasan yang tak kunjung tiba.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H