Sikap ini tentu mencerminkan perasaan dilematis seorang Sarimin yang harus dihadapkan pada dua pemerintahan berbeda pada waktu yang cukup singkat, hal ini terjadi akibat keterbatasan pusat dalam menyiarkan kabar soal proklamasi ke tingkat daerah. Â Tentang ini, Sarimin kemudian memberikan alasan dalam surat tertulis yang bersifat penjelasan (veklaring) tertanggal 23 Januari 1946 yang ditujukan pada Residen Pekalongan. Ia menuliskan mengenai sikapnya yang dianggap tidak nasionalis sekaligus menerangkan mengapa ia sempat tidak percaya akan berita proklamasi yang dibawakan oleh Kromo Lawi pada Agustus 1945:
"Pada saat itu seorangpun tak ada yang tahu benar tentang seluk-beluknya  Prolamasi. Tuan Kromolawi yang habis dari Jakarta menerangkan bahwa Proklamasi belum berisi masih wujud ideologis, belum mempunyai wujud yang nyata. Belum wujudnya sesudah diadakan pelimpahan kekuasaan dari Jepang kepada Pemerintah Indonesia yang harus dilakukan dengan seksama . Sebelum pelimpahan itu dapat dikatakan belum ada perubahan apa-apa... Sikap dan pendapat demikian jika ditimbang sekarang (Januari 1946) memang benar salah, tetapi seharusnya ditimbang dengan pengertian (keadaan) pada saat itu juga" ujar Sarimin.
Situasi semacam ini tentu tidak hanya ditunjukkan oleh kalangan pemimpin lokal atau pangreh praja saja, melainkan juga tergambarkan pada sikap sebagian besar kaum tua elite yang tidak ikut serta dalam gerakan kemerdekaan. Sudah menjadi rahasia umum (publiek gedenheim) bahwa perilaku yang ditunjukkan sebagian besar kaum tua tersebut disebabkan pengaruh dari lingkungan dimana mereka tumbuh dan tinggal. Umumnya mereka berangkat dari keluarga priyai yang tak jarang turut mengenyam privilage berupa fasilitas mewah dalam hidupnya. Sebagai sebuah kelompok yang serba kecukupan, tentu banyak dari mereka yang terbiasa dengan hidup serba berkecukupan sehingga wajar apabila mereka dirasa tidak siap menghadapi perubahan sosial yang cukup radikal. Perilaku yang menggambarkan akibat dari kehidupan  serba mapan ini juga tergambar secara jelas pada pidato Sarimin di Banjarhajo yang menggambarkan carpe diem dalam imaji dan prinsip hidupnya.
Selain faktor tadi kegamangan yang di alami Sarimin juga disebabkan oleh sikap Jepang yang terus mengelak atas kekalahannya dengan sekutu, sehingga banyak dari para pemimpin lokal yang sebelumnya bekerja di bawah pemerintahan Jepang bingung dalam mengambil sikap. Keterlambatan pusat dalam mengordinir kepemimpinan di daerah juga menjadi sebab mengapa banyak dari pemimpin lokal cenderung menunggu pilihan akhir, dan memilih bersikap hati-hati dalam merespon proklamasi. Para Pangreh Praja yang tidak tahu apa yang harus diperbuat karena ketiadaan instruksi-instruksi dari atasan, selalu mengedapankan sikap birokratis dan diplomatis sebari menanti perintah dari atasan yang tak kunjung tiba.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H