Mohon tunggu...
Naufal Aflah Herdanto
Naufal Aflah Herdanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Persis Bandung

Diaspora Suku Jawa di Tanah Priangan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Perdana Menteri Indonesia Kehilangan Putranya yang Tenggelam di Manggarai

3 Juni 2022   03:03 Diperbarui: 3 Juni 2022   09:05 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Natsir bersama Istri dan anak-anaknya. Tampak putra keduanya (Abu Hanifah) berdiri di barisan bawah pada posisi paling kanan

Anak adalah anugerah yang dirindukan setiap pasangan yang telah menikah. Hadirnya bagaikan oase di tengah padang pasir yang menyejukan tak hanya bagi mata, tapi juga bagi jiwa dan raga setiap orang tua. Ia bagian dari perhiasan dunia yang sinarnya melebihi kilauan zamrud paling indah sekalipun. Maka tidak heran betapa sedih dan pilunya orangtua ketika ditinggal anaknya berpulang ke haribaanNya. 

Hal pilu itu nyatanya pernah dirasakan Muhammad Natsir ketika menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia kelima. Natsir dikenal sebagai PM penggagas mosi integral yang disebut-sebut sebagai proklamasi kedua RI pada tahun 1950, dengan hasil keputusan membentuk Indonesia sebagai negara kesatuan (NKRI) setelah sebelumnya berbentuk serikat (RIS).

Bak disambar petir di siang bolong tepat pada pukul 12 siang 7 Januari 1951, Natsir dikagetkan dengan kabar puteranya; Abu Hanifah yang meninggal setelah tenggelam di Pemandian Manggarai. 

Kabar ini sontak menjadi pemberitaan di berbagai media massa, salah satunya dalam Harian Umum Kedaulatan Rakyat, Tahoen VI, No. 292 (09 Djanuari 1951) dengan judul “Abuhanifah Natsir Meninggal.” 

Sitti Muchliesah atau yang akrab disapa Lies, putri sulung Natsir menggambarkan betapa sedihnya kondisi Aba dan Uminya saat itu. 

Dapat dibayangkan bagaimana terpukulnya Aba, apalagi Aba sedang menghadapi kemelut politik dan mempersiapkan jawaban pemerintah di parlemen. Tetapi karena Aba orang beriman, Aba cukup tegar mengatasi cobaan ini. 

"Walau demikian, Aba dan Umi’ tidak bisa menutupi rasa kesedihannya yang teramat dalam. Keesokan harinya, Lies sempat mendengar tangisan Aba di kamarnya. Siapa yang tak sedih menghadapai situasi ini. Apalagi, sebelum ke kolam renang, Abu Hanifah sempat memijat Aba Natsir dan berpamitan kepadanya"

Peristiwa ini juga diceritakan oleh karibnya; Buya Hamka dalam Tafsir Qur'an Al-Azhar, ketika beliau menafsirkan surat Al-Balad ayat 3-4 di dalam penjara. Hamka berkisah bahwa kala itu yang turut datang bertakziyah adalah H. Agus Salim; mentor Natsir sedari aktif di Jong Islamieten Bond yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI.

"Teringatlah saya bahwa pada tahun 1951, ketika Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia, di tengah hebatnya percaturan politik, Natsir mendapat percobaan. Puteranya laki-laki terbenam hanyut sedang berenang di salah satu permandian di Jakarta, sehingga meninggal dunia. Di antara yang datang takziyah Almarhum Haji Agus Salim, Failasuf tua itu dalam bersalam menyatakan turut berdukacita telah berkata kepada Natsir: “Tak usah saya terangkan lagi. Bersyukurlah kepada Tuhan, karena anak ini meninggal di saat engkau masih merasa bangga dengan dia.”

Saya tafakur mendengarkan ucapan orang tua itu. Dan telah berlalu lebih 20 tahun sampai sekarang, kian saya renungkan maksud perkataan Failasuf besar itu. Memang anak sebelum dia dewasa masih pasti dapat kita banggakan. Nanti kalau dia telah dewasa dan telah bertindak sendiri dalam hidupnya, tidaklah kurang orang tua yang “makan hati berulam jantung” melihat perangai anak. Lain yang dicitakan, lain yang tumbuh dalam hidup anak ini. Kadang-kadang bertolak belakang."

Agus Salim mengatakan bahwa Natsir perlu tegar dengan melapangkan hati dan pikirannya, karena puteranya meninggalkan Natsir pada usia belia dimana ia masih belum mencapai usia baligh dan belum menanggung dosa. Hal ini tentu perlu direnungi kembali mengingat banyak anak yang tumbuh dewasa dan berkembang tidak seperti apa yang diharapkan kedua orangtuanya.

Bila dicermati dengan seksama hal ini berkaitan dengan kepercayaan dalam teologi Islam yang bersumber dari hadits dengan ragam redaksinya, dimana disebutkan bahwa anak-anak belum baligh yang meninggal kelak akan menjadi penolong dan syafaat bagi orang tua mereka di hari kiamat agar dapat masuk surga.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun