Mulai dari cerita mistis hingga urban legend warung 'Mbok Yem' yang legendaris itu. Sayangnya keinginanku mendaki Gunung Lawu tak pernah terwujud.
Memang selama mendaki gunung sejak 2014 mulai dari Ciremai, Slamet, Sindoro, Sumbing hingga Semeru saya belum pernah mengalami hal-hal mistis. Tapi, tetap saja hati ini sempat sedikit goyah.
Bukan tanpa sebab, beberapa bulan lalu baru ada kejadian pendaki hilang karena kabut lalu dia ditemukan tewas akibat jatuh ke jurang. Padahal yang bersangkutan naik ramai-ramai. Lantas bagaimana dengan nasibku nanti yang akan mendaki seorang diri?
Tiga hari sebelum keberangkatan, batin ini terus bergejolak. Ada sedikit rasa cemas namun di satu sisi hormon adrenalin terus terpancing, semakin tak sabar ingin mendaki Gunung Lawu.
Setelah mengalami pergolakan batin dan merenung panjang, rasa gundah di hati ini perlahan pudar dan saya semakin yakin mendaki Gunung Lawu seorang diri. Akhirnya dari Jakarta saya mulai menyusun sejumlah rencana perjalanan dan menetapkan tanggal pendakian yakni 20 Oktober 2020.
H-1 sebelum pendakian, saya pulang ke rumah dengan melakukan start dari Stasiun Gambir ke Stasiun Bandung. Sebagai warga negara yang baik, tentu saya mengikuti anjuran pemerintah dan Satgas COVID-19 yaitu melakukan rapid test terlebih dahulu. Hasilnya sudah pasti saya non-reaktif. Selama perjalanan juga saya mematuhi protokol kesehatan menjaga jarak, mencuci tangan dan tidak lupa memakai masker.
Singkat kata, tibalah saya di rumah dengan selamat. Di sana saya langsung menyiapkan alat-alat pendakian. Ada beberapa barangku yang masih ada tapi ada juga yang hilang seperti kompor dan nesting, tapi semua masih bisa diatasi. Jelang keberangkatan tidak lupa aku meminta izin dan doa restu dari orang tua.
Perjalanan menuju Gunung Lawu kali ini bisa dibilang unik dan cukup mewah. Dulu biasa naik kereta kelas ekonomi atau bisnis kini, pakai kelas eksekutif yakni Turangga dari Stasiun Bandung ke Stasiun Solo Balapan. Masalah harga tiket, jangan ditanya, sudah pasti cukup menguras isi dompet.