Di tengah indahnya Kota Semarang, bayangan gelap aksi kreak sekumpulan gangster remajakian meresahkan warga. Dengan senjata tajam di tangan dan keberanian yang sering kalididorong gengsi, mereka menguasai jalanan, menantang kelompok lain melalui media sosial.Fenomena ini bukan hanya memicu tawuran yang mengancam nyawa, tetapi juga menciptakanketakutan di hati masyarakat. Bagaimana akar masalah ini terbentuk, dan apa yang bisa dilakukan untuk memutus rantai kekerasan ini?
Fenomena "Kreak" membawa dampak buruk baik secara individual maupun sosial. Pada levelindividu, remaja yang terlibat menghadapi risiko serius, seperti luka fisik, trauma psikologi, hingga kehilangan peluang untuk melanjutkan pendidikan dan meraih masa depan yang cerah.Banyak dari mereka yang putus sekolah, terlibat masalah hukum, atau bahkan dipenjara, menghambat perkembangan hidup mereka. Sementara itu, dari sisi masyarakat, keberadaan"Kreak" menciptakan suasana tidak aman dan kekhawatiran yang meluas. Ketakutan terhadapaksi kekerasan, terutama di malam hari, mengganggu aktivitas warga sehari-hari. Selain itu,perusakan fasilitas umum dan citra negatif kota Semarang akibat ulah "Kreak" turut menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial yang signifikan.
Darurat "kreak" di Kota Semarang telah menjadi ancaman serius yang berdampak luas padaberbagai aspek kehidupan masyarakat. Dari segi keamanan, aksi tawuran yang dilakukan olehkelompok ini sering kali menggunakan senjata tajam dan berlangsung di tempat umum, sehinggatidak hanya membahayakan nyawa para pelaku, tetapi juga warga yang tidak terlibat. Situasi inimenciptakan atmosfer ketakutan di masyarakat, terutama pada malam hari ketika aksi merekalebih sering terjadi. Fenomena ini juga berdampak sosial, terutama pada remaja yang terlibat,yang banyak di antaranya putus sekolah, terjerat masalah hukum, dan kehilangan masa depanyang lebih baik.
Kreak merupakan gabungan dari kata "kere" yang berarti miskin dan "mayak" yangmenggambarkan seseorang dengan perilaku norak atau sok. Awalnya, istilah ini digunakan untukmenggambarkan gaya hidup seseorang yang terkesan berlebihan, seperti orang desa yangmengenakan pakaian glamor meskipun situasi tidak mendukung. Namun, seiring berjalannyawaktu, makna "kreak" berkembang dan kini lebih sering digunakan untuk menggambarkankelompok remaja atau pemuda yang terlibat dalam tindakan negatif, seperti tawuran. Dalamkonteks ini, fenomena tawuran yang melibatkan gangster di Semarang pun sering disebut sebagaibagian dari kreak.
Fenomena kreak di Kota Semarang berkembang karena beberapa faktor utama. Lingkungansosial yang kurang mendukung, seperti masalah ekonomi dan kurangnya pengawasan orang tua,membuat remaja mencari identitas dan pengakuan dalam kelompok yang terlibat dalamkekerasan. Media sosial juga memainkan peran besar, memfasilitasi komunikasi dan perencanaan aksi tawuran, serta memperkuat citra kelompok kreak di kalangan teman sebaya.Selain itu, budaya gengsi yang berkembang di kalangan remaja mendorong mereka untuk terlibatdalam kekerasan guna meningkatkan status sosial. Kurangnya pendidikan karakter danpengawasan dari keluarga dan sekolah memperburuk masalah ini, menjadikan remaja lebihrentan terhadap pengaruh negatif. Melalui era gen z juga remaja dapat mengakses lebih banyakinformasi baik itu bermanfaat ataupun malah menimbulkan hal yang negatif.
Media sosial dapat menjadi faktor dalam munculnya perilaku gangster dengan menyediakanplatform bagi kelompok geng untuk menyebarkan ideologi dan nilai-nilai mereka, sepertikekerasan atau perilaku kriminal yang dianggap menarik, terutama bagi remaja yang sedangmencari identitas atau pengakuan. Melalui berbagai bentuk konten seperti video, postingan, ataumeme, geng-geng ini bisa mempromosikan gaya hidup mereka dan memperkuat identitaskelompok. Media sosial juga memungkinkan geng untuk membangun solidaritas di antaraanggotanya, saling berkomunikasi, dan merayakan kemenangan bersama. Selain itu, media sosialmemudahkan proses rekrutmen, memungkinkan geng untuk menjangkau individu yang mungkinrentan terhadap pengaruh negatif, seperti remaja yang mencari rasa diterima. Dengan seringnyatampilnya konten kekerasan atau ancaman, media sosial dapat menormalisasi perilaku kekerasan,menjadikannya tampak sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan atau kekuasaan. Tak jarang,geng-geng juga menggunakan media sosial untuk saling menantang atau berkompetisi dalambentuk aksi kekerasan yang kemudian diviralkan, semakin memperkuat citra kekerasan sebagaijalan menuju penghormatan. Selain itu, media sosial juga menyediakan alat yang memungkinkangeng untuk merencanakan kegiatan kriminal, seperti mengatur pertemuan atau melakukantransaksi ilegal. Dengan demikian, media sosial dapat memperburuk fenomena geng denganmemperkuat ideologi kekerasan, mempermudah rekrutmen, dan menormalisasi perilaku kriminaldi kalangan individu yang rentan.
Selanjutnya lingkungan sosial juga dapat menjadi faktor penting dalam memunculkan perilakugangster karena beberapa alasan. Pertama, individu yang tumbuh dalam lingkungan sosial yangkurang stabil atau penuh dengan kekerasan, kemiskinan, atau ketidakadilan sosial seringkalimerasa terisolasi atau terpinggirkan. Mereka mungkin mencari identitas dan rasa kebersamaandalam kelompok yang memberikan rasa aman, seperti geng. Dalam lingkungan ini, bergabungdengan geng bisa dilihat sebagai cara untuk mendapatkan rasa diterima dan dihargai, sertamemperoleh perlindungan dari ancaman eksternal.
Selain itu, lingkungan sosial yang terpapar dengan norma atau budaya kekerasan dapatmempengaruhi persepsi individu terhadap cara menyelesaikan konflik atau mendapatkanpengakuan. Di lingkungan yang sering mengalami kekerasan atau memiliki tingkat kriminalitastinggi, individu mungkin menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang normal atau bahkan perluuntuk menunjukkan kekuatan atau dominasi. Geng-geng sering muncul di lingkungan ini karenamereka menawarkan solidaritas dan status sosial, yang membuat anggotanya merasa lebih kuatatau lebih dihargai
Lingkungan sosial juga dapat memainkan peran melalui pengaruh teman sebaya. Jika seseorangberada dalam kelompok yang memiliki pandangan atau kebiasaan kriminal, mereka lebihcenderung terpengaruh untuk bergabung atau mengikuti perilaku tersebut. Teman-teman sebayadapat memberikan tekanan sosial yang kuat, yang membuat seseorang merasa harus bergabungdengan geng untuk diterima atau dihormati. Secara keseluruhan, lingkungan sosial yang penuhdengan kekerasan, kemiskinan, atau kurangnya dukungan sosial dapat menciptakan kondisi yangmendorong individu untuk mencari identitas dan rasa aman dalam kelompok geng. Faktor-faktorini memperkuat kemungkinan munculnya perilaku gangster di kalangan individu yang merasaterpinggirkan atau kurang mendapat peluang positif dalam hidup mereka.
Tidak hanya itu saja, budaya gengsi dapat menjadi faktor penting dalam munculnya perilakugangster karena beberapa alasan. Dalam banyak budaya, terutama di kalangan remaja, gengsisering kali dianggap sebagai simbol status, kekuatan, dan rasa dihargai oleh orang lain. Bagisebagian individu, terutama yang berasal dari lingkungan yang kurang stabil atau terpinggirkan,bergabung dengan geng bisa menjadi cara untuk mendapatkan penghormatan atau pengakuandari orang lain. Dalam konteks ini, geng bisa dilihat sebagai sarana untuk mencapai gengsimelalui kekuasaan, ketenaran, atau reputasi yang diperoleh dengan cara-cara tertentu, termasukkekerasan atau tindakan kriminal.
Budaya gengsi ini seringkali mendorong individu untuk membuktikan diri mereka sebagai pribadi yang "kuat" dan "berani," yang dapat berujung pada perilaku yang melibatkan geng. Kekerasan, ancaman, atau tindakan ilegal seringkali dianggap sebagai cara untuk menaikkan status dan mendapatkan pengakuan dalam lingkungan sosial. Dalam budaya ini, seseorang yang tidak menunjukkan kekuatan atau keberanian dapat dianggap lemah atau mudah diremehkan,sehingga individu yang ingin diakui atau dihormati cenderung memilih bergabung dengan geng atau melakukan tindakan kekerasan untuk meningkatkan gengsi mereka.