Mohon tunggu...
Naudira Syifa
Naudira Syifa Mohon Tunggu... -

Mahasiswi hukum

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Perihal Stagnansi Birokrasi

9 Agustus 2014   20:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:57 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah yang seharusnya dibenahi melihat posisi stagnan birokrasi di Indonesia? Sekiranya, saat ini kita menilai birokrasi di Indonesia sedang berada di titik stagnan. Hal ini dilihat dari masih minimnya kepuasan masyarakat terhadap pelayanan para birokrat. Kesalahan di bidang apakah yang dapat menyebabkan stagnasi birokrasi?

Menurut saya jawabannya adalah sistem hukum.

Budaya dan hukum memang dua produk manusia yang saling berkaitan. Tetapi,  yang saya percayai adalah bahwa hukum merupakan satu-satunya alat yang dapat mengekang budaya, bukan sebaliknya. Bukankah hukum sengaja dibuat memang untuk membatasi perilaku atau kebiasaan hidup manusia yang melebihi garis kewajaran?

Menurut Hobbes, sifat dasar manusia adalah egois atau cenderung mementingkan kepentingan sendiri. Pada dasarnya, kelakuan manusia itu ditentukan oleh nafsu untuk mendapatkan kesenangan dan menjauhi kesakitan. Meskipun ada penolakan  terhadap pendapat ini, menurut saya sebenarnya pendapat Hobbes adalah pendapat yang paling dapat dinyatakan kepada sebagian besar umat manusia. Sifat yang seperti itulah yang paling masuk akal menjadi latar belakang mengapa hukum  diciptakan. Hukum diciptakan untuk mengendalikan sifat manusia.

Saya pun teringat akan pertanyaan ketika kuliah kelas Hukum Administrasi Negara  Bapak Adrian E. Rompis, dimana beliau bertanya, “Mengapa ada aturan yang dibuat tetapi justru melanggar hak manusia? Sedang hukum dibuat katanya untuk melindungi hak manusia.” Jawabannya adalah, karena terdapat hak-hak manusia yang lainnya, perlu diingat bahwa manusia hidup bermasyarakat sehingga kita tidak boleh bertindak sesuai keinginan kita sendiri tetapi harus menghargai hak orang lain. Dari pernyataan tersebut, saya berasumsi bahwa benar jika budi manusia dikendalikan oleh kehadiran hukum.

Salah satu buktinya, saya mengambil contoh dengan hadirnya undang-undang ITE. Sebelumnya saya rasa, kegiatan manusia di dalam media sosial sama sekali tidak memiliki kontrol. Tetapi setelah hadir Undang-Undang ITE yang mengatur suatu komunitas atau interaksi masyarakat yang tercipta melalui internet. Meskipun beberapa pihak menilai UU ITE dapat mengekang kebebasan berpendapat, tetapiUU ITE dapat menurunkan pelanggaran kesusilaan, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan penyebaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan. Sebelumnya setiap orang bebas berekspresi melalui internet,  tetapi mereka sekarang perlu lebih berhati-hati karena setiap kata-kata mereka yang melanggar UU sekarang dapat dipidanakan.

Pada kenyataannya, memang masih banyak orang yang terus mengumbar  penghinaan yang mengindikasikan pencemaran nama baik atau bahkan penyebaran  kebencian melalui media sosial. Budaya ini memang masih hidup, tetapi setidaknya undang-undang dapat menekan keberadaannya. Orang-orang yang semena-mena menggunakan media sosial untuk menyebarkan kabar buruk dapat dipidana dengan delik aduan seperti pada kasus Farhat Abbas Vs Ahmad Dhani. Apabila UU ITE tidak ada, tidak ada yang dapat menjerat tweet Farhat untuk Dhani. Di sini, saya melihat bahwa hukum dapat berperan besar dalam memangkas budaya buruk orang-orang asalkan UU ITE ini benar ditegakkan tanpa terkecuali.

Selain itu, ada pula Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Sebelumnya, sesuai dengan sifat manusia yang dikatakan Hobbes, manusia yang egois bisa saja terus mementingkan kepentingannya sendiri. Seperti pejabat-pejabat yang tidak peduli akan nasib rakyat sehingga terus berusaha memperkaya diri dengan korupsi. Tanpa hadirnya UU Tipikor, korupsi mungkin bisa terus tumbuh subur di Indonesia karena tidak ada ancaman sanski bagi koruptor.

Pada kenyataannya, memang masih banyak korupsi yang seolah telah menjadi budaya bagi para oknum pejabat negeri ini karena kurang maksimalnya hukuman bagi para koruptor. Tetapi apa jadinya apabila UU Tipikor tidak ada? Saya yakin, ada hal-hal yang memang tidak terungkap, dimana ada calon-calon koruptor yang berpikir ulang untuk melakukan tindak pidana korupsi akibat adanya UU Tipikor ini. Selain itu, karena ada pula UU Pers tentang kebebasan pers yang akan menceritakan kebenaran apabila terjadi korupsi. Di sini, manusia pasti akan berusaha menjauhi kemungkinan terburuk yang akan terjadi untuk melindungi nama baiknya, lagi-lagi kebenaran teori Hobbes.

Berangkat dari contoh-contoh tersebutlah, saya menetapkan bahwa hukum pada hakekatnya dapat memperbaiki budaya yang telah ada. Hal ini dapat terwujud dengan diimbangi oleh suatu sistem yang baik. Sehingga dapat dikatakan bahwa kesalahan pada sistem hukum akan mengacaukan peredaran bentuk budaya dalam masyarakat. Budaya buruk dalam masyarakat pun akan mengacaukan birokrasi.

Sehingga, kesimpulannya saya beranggapan bahwa sumber masalah stagnasi birokrasi adalah lemahnya sistem hukum dan yang dapat mengeluarkan Indonesia dari stagnasi adalah perbaikan atau penegasan keberadaan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun