Mohon tunggu...
Natasya Anisa Putri
Natasya Anisa Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta

Hello Readers! Welcome and Enjoy Exploring the World Through Words

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Prespektif Hukum Positivisme: Menyikapi Kasus Istri yang Membakar Suaminya

20 September 2024   18:02 Diperbarui: 23 September 2024   13:34 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hukum Positivisme merupakan suatu teori dalam ilmu filsafat hukum yang memberikan pernyataan bahwa hukum berupa seperangkat aturan yang dibuat dan dicanangkan oleh pihak berwenang dalam mengatur keseharian masyarakat dengan mengacu pada aturan yang tertulis, tanpa mempertimbangkan aspek moral maupun sosial. Dengan itu, madzhab dari hukum positivisme sendiri berupa regulasi yang telah dicatat/tertulis. Hukum Positivisme menekankan bahwa hukum adalah output kehendak manusia yang berupa produk, bukan hasil dari prinsip moral yang universal.

Dalam hal ini terdapat cara pandang yang berbeda dari madzhab hukum positivisme dengan madzhab hukum yang lain ketika menyikapi suatu kasus.
Seperti halnya pada kasus seorang istri (polwan) yang membunuh suaminya (polisi) di Mojokerto yang menjadi soroton beberapa bulan lalu.
Kasus tersebut terjadi karena adanya konflik rumah tangga dimana keduanya terlibat cekcok terkait gaji, sebab suami menggunakan uang belanja untuk judi online, kemudian si istri tidak terima. Istri tersebut memborgol tangan korban di garasi lalu menyiram bensin dan membakarnya. Korban dikabarkan meninggal karena menderita luka bakar setelah sempat menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit.

Pada kasus tersebut jika ditinjau dari cara pandang hukum positivisme maka si istri harus menerima sanksi hukum dan menjalani hukuman pidana. Hal tersebut karena hukum positivisme menggunakan acuan hukum tertulis dimana yang telah diatur dalam beberapa pasal dalam KUHP sebagai berikut:
- Pasal 351 KUHP (mengatur tindak pidana penganiayaan yang dapat berujung pada kematian)
- Pasal 340 KUHP (mengatur terkait pembunuhan berencana)
- Pasal 238 KUHP (mengatur tindak pidana pembunuhan secara umum)
Dari beberapa aturan tertulis dalam bentuk pasal diatas dapat digunakan sebagai acuan aparat penegak hukum ketika menyikapi kasus ini. Dalam kasus ini ketika si istri dengan sengaja membakar suami maka kasus tersebut diawali dengan penganiayaan berat yang kemudian berujung kematian maka dapat digunakan pasal 351 KUHP.

Dari sudut pandang hukum positivisme hal ini tetap harus ditindak lanjuti dan dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum. Terlepas dari beberapa alasan-alasan jika ditinjau dari madzhab hukum laik yang mempertimbangkan berbagai aspek seperti secara psikologis terdapat tekanan mental pada istri, ataupun secara hubungan sosial mereka adalah pasangan suami istri. Dalam kasus ini si istri akan dikenakan hukuman pidana berupa penjara paling lama tujuh tahun seperti yang telah dinyatakan dalam pasal 351 ayat 3 KUHP. Disamping itu pada kasus ini juga termasuk dalam kasus KDRT sehingga pelaku dapat dijerat Pasal 44 ayat (3) UU PKDRT yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dan mengakibatkan matinya korban, ia dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp45 juta.

Madzhab hukum positivisme sendiri cukup efektif ketika diterapkan dalam menegakkan hukum di Indonesia, karena dengan mengacu pada aturan yang tertulis. Dalam hal ini terdapat kepastian hukum sehingga dapat memberikam efek jera bagi pelaku dan memberikan perlindungan bagi korban. Dengan adanya aturan hukum yang tertulis aparat penegak hukum dapat memberikam ketegasan dengan dasar yang jelas. Namun di sisi lain, jika penegakan hukum di Indonesia hanya berpedoman pada madzhab hukum positivisme saja tidak akan  efektif. Mengingat hukum di negara Indonesia juga perlu mempertimbangkan rasa kemanusiaan, moralitas/etika, dan sosial maka tetap diperlukan madzhab hukum lain yang digunakan dalam menyikapi berbagai kasus. Sehingga dapat diketahui bahwa mazhab hukum positivisme di Indonesia memberikan kerangka kerja yang stabil dan formal dalam penegakan hukum, terutama dalam menciptakan kepastian hukum. Namun, di sisi lain, hukum positivisme yang kaku juga bisa terbentur dengan dinamika sosial dan kebutuhan akan keadilan yang lebih substansial, terutama dalam kasus-kasus yang tidak bisa diakomodasi secara memadai oleh aturan tertulis.

Rujukan:
Lenti G M, "Kejahatan terhadap Tubuh dalam Bentuk Penganiayaan menurut Pasal 351 ayat 1 KUHP", Lex Crimen 7 (4), 2018

Hafid A, "Kajian Hukum tentang Pembunuhan Berencana menurut Pasal 340 KUHAP", Lex Crimen 4 (4), 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun