Pentingnya Fungsi Sungai
Pemandangan sampah yang berceceran lagi terapung-apung di permukaan sungai bukanlah fenomena yang jarang teramati di Indonesia.
Sungai adalah badan air yang mengalir secara terus menerus dari hulu menuju hilir. Sungai Kapuas terletak di pulau Kalimantan, panjangnya mencapai 1.143 km dari sumber air atau hulu Pegunungan Muller, Kabupaten Putussibau sampai bermuara di Selat Karimata atau lebih tepatnya berada di sekitar Kota Pontianak dan merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Lebar dari Sungai Kapuas bervariasi yaitu antara 70 hingga 150 meter dengan kedalaman maksimal 27 meter. Sungai Kapuas berdasarkan debit airnya adalah sungai permanen yaitu memiliki debit air yang cenderung tetap selama sepanjang tahun.
Pada hakikatnya, sungai menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar diantaranya bermanfaat sebagai sarana transportasi air untuk kapal lewat, baik hanya menyebrang sampai ke luar pulau untuk membawa kendaraan, barang-barang, kargo, orang, dan lain-lain. Di sekitar pinggir sungai biasa menjadi sarana rekreasi, tempat berjualan makanan, dan tambak. Selain itu, masyarakat juga memanfaatkan sungai untuk kebutuhan air domestik seperti untuk mandi, mencuci, kemudian sebagai sumber mata pencaharian bagi nelayan dan petambak, untuk irigasi pertanian, sumber air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan masih banyak lagi. Namun sangat disayangkan, semenjak berkembangnya permukiman dan maraknya aktivitas manusia, hingga saat ini situasi pada sungai dapat teramati adanya tumpukan sampah, pencemaran sungai dari limbah rumah tangga dan limbah pabrik, hingga bahan kimia dan logam berat. Sungai yang tercemar dapat mengganggu fungsi ekosistemnya berkaitan dengan kelangsungan hidup biota yang terlibat dan lingkungan sekitarnya.
Pencemaran Mikroplastik dan Lingkungan
Plastik kerap kali digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahan plastik yang terbuat dari turunan hidrokarbon seperti polietilena (PE), polipropilena (PP), polivinilklorida (PVC), dan polietilena tereftalat (PET) memiliki sifat yang ringan, fleksibel, tidak cepat rusak sehingga cenderung sulit untuk didegradasi atau diurai. Proses penguraian ini penting dalam siklus ekosistem terutama untuk bahan pencemar agar produk akhirnya saat kembali ke lingkungan tidak bersifat toksik. Masalah muncul saat sampah plastik dari aktivitas manusia dibuang ke sungai umumnya seperti kantong plastik, gelas plastik, botol, tali jala nelayan, tekstil, dan sebagainya. Selain keberadaan sampah berukuran besar yang dapat mengakibatkan penyumbatan dan mengganggu kehidupan hewan di sungai, mikroplastik atau plastik yang berukuran antara 1 μm–5 mm juga menjadi perhatian karena persistensinya di lingkungan dan kecenderungan bioakumulasinya (Miri, et al., 2022). Mikroplastik dapat bersumber dari produksi plastik yang memang berukuran mikro seperti dari produk pembersih atau tekstil, disebut mikroplastik primer, maupun berasal dari pecahan atau bagian dari plastik yang besar atau mikroplastik sekunder. Senyawa lain yang ditambahkan saat pembuatan plastik seperti pewarna, ditambah materi lain yang terkumpul bersama mikroplastik seperti logam berat, senyawa hidrokarbon polisiklis aromatik bahkan patogen menambah bahayanya bagi lingkungan karena dapat bersifat toksik atau racun.
Mikroplastik yang dimakan biota perairan dapat terakumulasi dan menyebabkan abrasi, penyumbatan, gangguan sistem endokrin, karsinogenesis, hambatan pertumbuhan, dan kerusakan lainnya (Wright, Thompson, & Galloway, 2013). Biomagnifikasi dan bioakumulasi kemudian dapat terjadi dari transfer melalui jaring-jaring makanan dengan tidak menutup kemungkinan akan sampai pada manusia yang mengkonsumsi hewan akuatik dari sungai. Implikasinya terhadap kesehatan dapat menyebabkan peradangan, meningkatkan stres oksidatif, menyebabkan iritasi pada kulit, mengganggu sistem pencernaan, hingga penyakit kardiovaskuler dan masalah pernafasan. Berdasarkan temuan dari tim Ekspedisi Nusantara (ESN) pada tahun 2022 lalu, ditemukan kandungan mikroplastik di sepanjang titik sampling Sungai Kapuas yakni di Muara pertemuan sungai Landak dan sungai Kapuas (Kapuas 1), Sungai Malaya (Kapuas 2), Parit Lengkong (Kapuas 3), Mega Timur (Kapuas 4), Sungai Tempayan Laut (Kapuas 5), Ambawang Jl. Kemuning (Kapuas 6), Batu Ampar dan Pandan Tikar.
Sampah plastik di sistem sungai mengalami degradasi dimana mekanismenya tergantung dari paparan sinar UV matahari dan panas, faktor fisik seperti kontak dengan objek lain, dan biodegradasi dari mikroorganisme namun kontribusinya tidak signifikan pada lingkungan akuatik karena prosesnya memakan waktu yang lama (Emmerik & Schwarz, 2019). Biodegradasi mikroorganisme kemudian mengkonversi plastik menjadi produk biomassa mikroorganisme tersebut, gas karbondioksida, air, maupun amonia. Karena timbunan sampah plastik di sistem sungai yang menyebabkan polusi, kapasitas sungai untuk mengolah polutan secara alami tidak cukup. Penelitian yang dilakukan oleh Sugandi, et al. (2021) menemukan kelimpahan mikroplastik di Sungai Kapuas, Kota Pontianak sebesar 943,3 partikel/L dengan persentase terbesar berbentuk filamen (33%) dan fragmen (33%) dan paling banyak ditemukan mikroplastik berwarna transparan dimana pada sampel juga terkandung unsur C, O, Na, Al, Si, Cl dan K.
Pemantauan kualitas air secara berkala perlu dilakukan untuk memastikan keamanan air yang digunakan sekaligus sebagai indikator pencemaran lingkungan.
Pentingnya Monitoring Kualitas Air
Untuk memantau kualitas air Sungai Kapuas di Pontianak secara real time, PDAM dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Penugasan Bidang Lingkungan Hidup TA 2021 memasang alat ONLIMO (Online Monitoring) dimana data dan informasi status pencemaran air dapat dipantau dan diakses pada website atau aplikasi “ONLIMO KLHK”. Diantaranya parameter yang diukur adalah parameter fisik dan kimia seperti pH (derajat keasaman), ORP (Potensi Reduksi-Oksidasi), Temperatur, Conductivity (Daya Hantar Listrik), TDS (Total Padatan Terlarut), TSS (Total Suspensi Terlarut), Salinitas, DO (Oksigen Terlarut), kadar ammonium, kedalaman, COD (Chemical Oxygen Demand), BOD (Biological Oxygen Demand), Turbidity (Kekeruhan) dan kadar nitrat. Data parameter ini dapat digunakan untuk membantu diagnosa kualitas air dengan cara dibandingkan dengan referensi baku mutu yang sesuai. Pemantauan menggunakan ONLIMO hingga saat ini masih belum mencakup pencemaran lain misalnya dari logam berat ataupun dari mikroplastik. Selain dari parameter fisik dan kimia, pemantauan dapat dilakukan dengan biomonitoring.
Biomonitoring atau biological monitoring adalah proses melakukan pengukuran paparan kontaminan menggunakan bagian dari organisme misalnya dari perubahan molekuler, biokimia, fisiologis, ataupun genetiknya dalam upaya mengindikasikan kualitas lingkungan. Biomonitoring dapat memberikan pemahaman yang lebih luas karena bersinggungan langsung dengan organisme yang terdampak suatu kontaminan. Komunitas biologis selama masa hidupnya mengalami tekanan dari lingkungan secara langsung sehingga kualitas badan air dapat ditelusuri dari organisme yang ada. Pada kasus ini, organisme akuatik seperti ikan dapat digunakan sebagai indikator karena ikan termasuk konsumen tingkat atas dan kerap dikonsumsi manusia sehingga relevan untuk menganalisis kontaminasi pencemar.
Strategi Pengelolaan Lingkungan
Tindakan yang dapat dilakukan untuk menanggulangi pencemaran mikroplastik pada Sungai Kapuas perlu diwujudkan bersama dari pemerintah dan masyarakat. Pertama-tama, perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai sumber, jenis, dampak, dan upaya remediasi mikroplastik yang dapat dilakukan. Kajian dapat dilakukan oleh instansi pemerintah, komunitas, akademisi, maupun pihak lainnya yang berkecimpung di bidang lingkungan dalam bentuk penelitian maupun monitoring misalnya dengan program monitoring aktif rutin dengan mengukur kadar mikroplastik pada sampel air, sampel sedimen, dan sampel biologis.