Kita mulai cerita ini dari kelahiran seorang anak laki-laki sekira tahun 1996 silam. Di sebuah dusun kecil yang sampai kini hanya dihuni kurang lebih 82 Kepala Keluarga (KK), Desa Tongidon, kecamatan Walea Besar, kabupaten Tojo Unauna. Kedua orang tuanya, pasangan Kudrin Lamadajo (62) dan Damutia (61) menamai anaknya Andi Ibrahim Lamadajo. Nama yang mewakili harapan, kelak ia akan mengisi hidupnya seperti bapak dari agama-agama Samawi beserta seluruh nilai-nilai universalitasnya itu.
Dalam penuturan Damutia, seusai menamatkan pendidikan tingkat SMA, Ibrahim sengaja meminta melanjutkan kuliah jauh dari orang tua. Ia memilih untuk menempa diri, mematangkan karakter mandiri sebagai lelaki kampung, agar ketika kembali kelak ia bermanfaat bagi masyarakat kampung kelahirannya. Langkah kakinya mantap menuju Palu, Sulawesi Tengah, mendaftar sebagai mahasiswa baru di Universitas Muhammadiyah Palu tahun 2015 dan mengaktifkan diri dalam organisasi internal Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Aktivitas organisasi kemahasiswaan IMM menyeret Ibrahim dalam rutinitas yang menurutnya selaras dengan tujuan mengembangkan diri. Beberapa tahun ia mengakrabi diri dalam kerja-kerja kelembagaan. Hingga tanggal 13 Maret 2018, Ibrahim ditugaskan mengambil genset di Tawaeli, kecamatan Palu Timur untuk keperluan aksi massa. Penugasan itu adalah kerja-kerja organisasi paling akhir yang ia lakukan. Alan Jabir, rekan Ibrahim yang ditugaskan jadi sopir mobil, lalai hingga mengalami kecelakaan dan merenggut nyawa Ibrahim.
***
Rabu (10/3), pukul 13.00 WITA, sekira 30 pengurus Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Sulawesi Tengah satu-satu menaiki bus. Tujuannya ke dua titik desa untuk gelar bakti sosial di wilayah kepulauan Togean dan Walea Besar, kabupaten Tojo Unauna, Sulawesi Tengah. Program itu digelar dalam rangka memperingati hari jadi atau Milad IMM ke-57.
Perjalanan panjang baksos dan Milad kader IMM dimulai. Sejumlah 13 di antara rombongan terdiri dari Immawati-panggilan untuk kader perempuan-ikut berjibaku dalam suka-duka. Dibalik pakaian hijab tertutup, rapih, anggun namun tak membuat gerak jadi tak efektif. Mereka cekatan, termasuk mengurusi Immawan-panggilan untuk kader laki-laki-dalam hal konsumsi dan segala tetek-bengek. Hari menunjukkan pukul 04.00 WITA, subuh diri hari, rombongan tiba di Ampana, ibukota kabupaten Tojo Unauna. Tak lama melepas lelah setelah dijamu di rumah Ilham Lawidu, alumni IMM yang terpilih dalam kontestasi kepala daerah sebagai Wakil Bupati setempat, rombongan melanjutkan perjalanan ke desa Lebiti, kecamatan Togean menggunakan kapal fery.
Seperti beberapa daerah lain di wilayah kepulauan, desa Lebiti yang juga sebagai ibukota kecamatan Togean masih mengalami kesulitan atas beberapa akses kebutuhan dasar. Fasilitas penerangan masih menggunakan mesin diesel sebagai pembangkit utama dengan jadwal nyala yang dibatasi. Selama beberapa hari, rombongan IMM mulai menghabiskan waktu untuk kerja-kerja kemanusiaan di desa itu. Dalam benak beberapa anggota rombongan, ada nama desa Tongidon, tanah kelahiran Ibrahim yang tak sabar ingin dikunjungi. Seolah ada cinta memanggil gerak langkah untuk menghanguskan rindu, bukan lagi hanya pada Ibrahim, sosok yang telah menjemput ajal dalam kerja-kerja organisasi, rindu untuk segera memeluk kedua orang tua Ibrahim dengan penuh cinta, serta rindu untuk segera mendeklarasikan cinta itu dalam bentuk kerja-kerja sosial sebagai ucapan terima kasih pada tanah kelahiran almarhum.
Ahad (14/3), dengan menyarter 2 kapal kecil, rombongan meninggalkan pelabuhan Lebiti menuju desa Tongidon. Di keterangan aplikasi navionic, kecepatan kapal hanya menyentuh angka 6,5 knot, "Terlalu pelan untuk dapat segera sampai," gumamku.
Jalan perlahan, di atas kapal yang sama, semua tenggelam dalam lamunan masing-masing. Perjalanan hening yang membuat penulis berfikir, betapa semua gerak ini, yang dilakukan seluruh anggota rombongan, sama sekali jauh dari kepentingan pribadi. Â Segala peluh tanpa keluh, terik matahari yang menerpa wajah-wajah penuh semangat, kian menegaskan bahwa ada cinta, bahasa tertinggi dari segala pengorbanan, untuk sesuatu yang dalam doktrin ideologis adalah patut untuk diperjuangkan, yakni pengkhidmatan total pada masyarakat pelosok terjauh sekalipun. Namun perjalanan kali ini, seperti hendak membumi hanguskan rindu, sekali lagi, pada dusun dan orang tua yang telah melahirkan almarhum Ibrahim, untuk Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Masih di atas kapal, dan masih dalam harapan untuk segera sampai, penulis telah membayangkan sebuah pertemuan penuh air mata. Pertemuan penuh haru dan rindu orang tua pada anaknya, atau setidaknya pada sahabat dan kawan-kawan anaknya, Ibrahim. Tak terasa, mata penulis pun mengaca. Ada sesak menyeruak menyempitkan jalur pernafasan. Betapa tragis, di tengah harapan kedua orang tua, Ibrahim justru menuntaskan hidupnya dengan cara paling tragis dalam sejarah IMM di Sulawesi Tengah. Penulis yang juga sebagai bapak dari beberapa anak, tentu mampu merasakan betapa cinta dan kasih sayang itu akan makin menajam ketika menyoal pada anak-darah daging sendiri. Tentu, hal yang sama dirasakan kedua orang tua almarhum.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 6 jam, rombongan tiba di desa Tongidon. Damutia, ibu dari almarhum Ibrahim duduk di ruang tamu. Ia tampak dengan tegar menunggu kami. Namun ketika salam pertama memasuki kediamannya, tangis pun pecah. Penulis yakin, perasaannya berkecamuk. Betapa rindu pada anak yang telah meninggal 3 tahun silam tidak mungkin akan terjawab. Ia telah berada di ruang damai, atau mungkin saja sedang menikmati indahnya doa-doa dari ayahnya, Kudrin Lamadajo, yang darinya benih cinta disemaikan pada Damutia, sang pemilik rahim yang rela mengorbankan apa saja, demi kebahagiaan Ibrahim, bahkan hanya sebatas senyum sepersekian detik sekalipun.
Benar saja, pertemuan penuh air mata itu terjadi. Tak terhitung beberapa kali Damutia harus mengelus dada. Berusaha menyabarkan diri setelah dihantam rindu yang tak berkesudahan, dalam kurun waktu yang tak dapat dipastikan, atau mungkin saja sejak Ibrahim dikebumikan hingga ajal pun menjemput Damutia. Tiap wajah anggota rombongan diselaminya satu-satu. Ia mencari wajah Ibrahim dalam bentuk lain-yang mungkin saja melekat di wajah kawan-kawannya. Ia tak menemukannya, ia tak menemukan wajah tersembunyi itu, yang ditemukannya justeru kerinduan yang kian mendalam. Penulis sebagai alumni yang mendampingi adik-adik kader di IMM, pun sekali lagi, sebagai orang tua dari beberapa anak, tentu merasakan kedalaman luka itu. Tiap tetes tangis Damutia, seolah jadi pisau yang mengiris jiwa, memaksa air mata penulis pun keluar dengan tangis sesegukan. Kudongakkan kepala, kutiup langit-langit rumah itu, bukan untuk mengusir hewan kecil yang beterbangan di atas atap, tetapi berusaha memasukkan kembali air mata pada tempatnya. Tidak, adik-adikku serombongan tak mesti melihat duka. Sebab apapun itu, bergorganisasi pasti memunculkan konsekwensi beragam, bahkan kematian sekalipun. Namun Damutia dan tangisnya, adalah manifestasi cinta yang sebenarnya, yang justru mencari tempat untuk ditumpahkan. Maka kujadikan pundak sebagai tempat ia merintih, sesekali ia menyeru nama anaknya, Ibrahim.