Di tengah pandemi yang mengancam tanpa pandang bulu, yang mesti dilakukan adalah peduli untuk saling menyelamatkan. Sebab kita sama sekali tak bisa meramalkan titik klimaks serangan virus akan seperti apa dan dalam tempo berapa lama.
Bagi sebagian besar orang yang masih berjibaku dalam pengemasan isu-isu politik terkait dengan mewabahnya virus mesti berfikir ulang. Sebab bisa jadi situasi makin ekstrim hingga kepentingan politik jadi tak penting lagi selain menyelamatkan diri dan orang-orang terkasih. Atau ketika serangan tdk kunjung berakhir dan menempatkan masyarakat global sampai pada titik nadir, maka politik yang dimaknai sebagai upaya merebut kekuasaan menjadi hal yang tabu-bahkan untuk sekadar difikirkan. Pada saat itu, kita akan menertawai diri sendiri sembari bergumam "Betapa bodohnya kita saat itu, menghabiskan deretan kata pada sesuatu yang sia-sia,".
Kebijakan pemerintah memang mesti terus dikawal. Perlu ada kritik sebagai pengingat bahwa ada cara pandang lain yang lebih bijaksana sebelum ketuk palu. Tapi mesti obsesinya adalah kemaslahatan rakyat, bukan sebatas membangun antipati untuk dikanalisasi dalam kepentingan kelompok politik.
Orang-orang kaya, yang hanya berjumlah kurang lebih 10% dari jumlah total penduduk negeri ini juga mesti mulai membangun cara pandang yang berbeda dalam melihat materi. Kehadiran virus yang mewabah secara global sedang bekerja sistematis. Pelan namun pasti mulai melumpuhkan sumber produksi skala besar. Virus mengancam mobilisasi orang-orang yang masih berjibaku dalam interaksi, tentu berdampak langsung pada produksi, sebab tidak semua hal dapat dikerjakan dari rumah. Maka langkah yang tepat-mau atau tidak-adalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam diskusi ringan, muncul beberapa orang yang berfikir bahwa salah satu dampak puncak virus jika kondisinya tidak segera membaik adalah kesamaan kelas ekonomi-klasifikasi kaya dan miskin dalam tinjauan materi jadi tak berwajah sama sekali-sama saja. Virus membunuh keangkuhan atas kepemilikan benda.
Lau siapa yang derajatnya terangkat?
Orang-orang yang berprofesi 'rendahan' dalam pandangan kita selama ini, yang dalam posisi tertentu kita abai pada mereka, petani dan nelayan.
Ya, dua profesi yang secara substansi terlatih untuk independen dan menghasilkan sesuatu yang justru primer inilah jadi pemegang kendali. Ketika uang tidak lebih dari sebatas kertas bergambar yang bertuliskan angka-angka-tak lagi berfungsi mengenyangkan perut, maka semua mata akan tertuju pada sesiapa yang menghasilkan sesuatu yang real untuk dimakan. Pada merekalah harapan hidup ditujukan-selain pada Tuhan. Sementara untuk mengkapitalisasi lahan garapan pertanian dengan tujuan untuk memperkaya diri pun tak mungkin lagi terjadi. Tak seorang-pun mau bekerja makan gaji di tengah situasi dimana uang tak lagi bernilai. Jikapun dilakukan secara komunal maka pengelolaan lahan dilakukan secara gotong royong untuk hasilkan panen yang dapat dimakan secara merata. Kondisi sosial jadi lebih adil untuk menghasilkan sesuatu.
Dalam situasi seperti saat ini imajinasi memang jadi 'liar'. Ribuan kemungkinan punya potensi yang sama untuk jadi nyata di kemudian hari. Walau memang optimisme jangan pernah putus. Ia harus terus dibangun. Sebab hanya dengan harapan membuat kita dapat terus bertahan hidup. Atau bisa jadi pula virus asalah pintu masuk menuju tatanan dunia baru. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H