Mohon tunggu...
Natia
Natia Mohon Tunggu... -

Me is Me

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi Sang Lily

27 Oktober 2011   02:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:27 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mimpi Sang Lily

Malam kian kelam, langit menyembunyikan kilauan bintang-bintangnya, bulan pun surut dalam terang serta udara kian enggan membelai damainya kesejukan. Panas. Ternyata mentari tetap tidak ingin memberikan kesempatan untuk malam menenangkan.

Disudut kamar kecil itu, yang hanya cukup menampung sebuah kasur kapuk tipis beralaskan ranjang sejadinya dan lemari kayu yang hampir sudah tidak layak pakai, dan jendela kamar yang tersingkap yang selalu memberi jalan bagi kedamaian malam juga kehidupan siang hari. Diatas kasur itu terdapat tubuh mungil seorang gadis berambut coklat keemasan, tergerai panjang hampir menutupi setengah dadanya, mata hitam yang menyiratkan kedambaan, kulit putih diterpa remang cahaya serta bibir mungil yang seakan sedang berdiskusi dengan seseorang yang entah siapa, mungkin juga seorang ibu peri di tengah malam, seperti dongeng-dongeng yang tidak pernah habis, ibu peri yang hadir untuk menghibur setiap anak yang membutuhkan, menghibur dan menceritakan cerita-cerita indah hingga terlelap.

Mata sang gadis sepertinya belum mau meninggalkan bayang-bayang kehidupan nan jauh diluar sana, mata itu seakan sedang mencari-cari sesuatu. Jari-jari kecilnya saling menggenggam dan menautkan satu sama lain, seperti sedang menanti jawab dari rasa penasaran yang dalam.

Lily namanya, indah bagaikan bunga lily putih berseri, sesaat pandangannya teralihkan kearah berlawanan jendela kamar, didepan pintu tampaklah sesosok yang anggun dengan senyuman yang seingat lily tidak pernah hilang dari wajahnya.

“Sayaang....kamu belum tidur.?” Suara lembut ibu mengalihkan lamunanannya, sambil berjalan menghampiri sisi tempat tidur putrinya. Mendengarkannya lily hanya menggeleng pelan dan saat itu juga tatapannya kembali menerawang jauh keluar jendela.

Melihat sikap anaknya, ibu mencoba mengikuti arah tatapan putri kecilnya. Saat itu ibu dan lily menatap jauh menerobos gelapnya malam, menghunus sayatan-sayatan awan panjang tak berujung. Seketika itu juga ibu mengerti apa yang ada dipikiran buah hati tercintanya.

“Malam ini mungkin bintang dan bulan sedang ingin bersembunyi...”

“Bersembunyi kenapa bu..?” ibu yang belum selesei berbicara langsung ditanya oleh lily dengan wajah serius.

“Karena bintang dan bulan ingin memberi kesempatan pada malam untuk menebarkan gelapnya keseluruh negeri, mungkin banyak teman-temanmu disana yang sulit untuk tidur jika langit masihterang”

“Tapi kan bintang dan bulan itu cantik bu, kenapa mereka tidak bisa tidur.?”

“Terkadang adakalanya gelap itu membantu mereka lebih cepat tidur, tanpa adanya bayang-bayang cahaya sehingga pikiran mereka menjadi lebih tenang dan lebih cepat bermain dialam mimpi”

“Tapi justru aku tidak bisa tidur tanpa melihat bulan dan bintang bu..!” rengeknya “Ibu tahukan aku suka sekali melihat cahaya bintang sebelum tidur, jadi aku merasa tidak takut, tapi sekarang jadi lebih gelap dan aku takut buu...” rengek lily

“Sayaang....ibu tahu, tapi ibu lebih tahu lagi kalau kamu anak yang pemberani, iya kan..?” kata ibu disambut dengan anggukan pelan lily “Nah jadi kamu tidak boleh takut. Setiap malam selalu ada yang menjaga kita, termasuk ibu juga pasti akan selalu ada disini”

“Siapa yang menjaga kita bu.?”

“Malaikat”

“Malaikat siapa bu...?”

“Malaikat adalah yang diperintahkan Allah untuk menjaga kita, tidak hanya malam saja siang juga seperti itu Cuma kita yang tidak tahu seperti apa malaikat itu”

“Ooo.....gitu ya buu..” sahutnya manja. Ibu tersenyum melihat tingkah lily anak semata wayangnya, harapan satu-satunya dan teman hidup sepanjang hayatnya.

Seperti biasa ia mencium sekeliling wajah lily sebelum tidur dan berdo’a agar ia mendapatkan mimipi yang indah dan kali ini ibu memeluknya sangat erat seakan tidak ingin lepas saking dalamnya perasaan ibu dan anak ini tanpa terasa air mata ibu mengalir hangat mengaliri pipinya. Lily memang anak yang pemberani, gelap bukanlah suatu hal yang ditakutinya justru cahaya bulan dan bintang itu adalah semangatnya yang disambut dengan terangnya sinar matahari menyambut pagi kala ia terbangun.

Dikamar lain, disudut kamar dimana kali ini giliran ibu yang menatap jauh kedalam kekelaman gelapnya langit, dalam hati ibu merasakan malam ini memang tidak seperti malam-malam yang selalu ia rasakan, malam ini sangat kelam dan dingin menusuk sukma bahkan jantungnya terasa menggigil kencang. Air mata mengalir begitu saja tanpa bisa ditepis. Ia berharap dapat sekali saja melihat wajah teduh suaminya yangmungkin juga sedang menatapnya dari langit yang jauh disana, ingin sekali ia mengeluh dan menangis sejadi-jadinya menumpahkan segala gundah dihati, berbagi perih.

Ayah lily, pergi meninggalkan lily saat ia baru berusia lima bulan, saat itu ayahnya sakit keras dan tidak ada biaya untuk berobat ke dokter, jadilah hanya obat warung yang ada tapi walau sudah berusaha sekuat tenaga.. Tuhan tetap berkata lain saat lily sudah bisa memanggil ayah lebih cepat.

Sejak saat itu tinggallah ibu dan lily menjalani hidup berdua dengan bantuan usaha warung kecil-kecilan dipinggir jalan. Saat ini ibu berfikir usia lily sudah cukup untuk mengurus dirinya sendiri sepuluh tahun. Dalam diam ibu sering memperhatikannya dengan hati perih, hatinya berkecamuk bagaimana nanti bila ia harus meninggalkan lily untuk selamanya.? Bagaimana ia bisa bertahan ditengah badai dunia ini.? Ibu tidak pernah memperlihatkan kekhawatirannya, sakitnya dan takutnya didepan lily, ia berusaha semaksimal mungkin menutupi segalanya.

Waktu terus berjalan, gelap menyelubingi sejagat raya, hembusan angin semilir kian jelas terdengar menusuk sukma. Lily tersenyum dalam tidurnya, dingin membuat ia lebih menikmati mimpi, beberapa saat bibirnya seperti bergumam mengucapkan sesuatu yang membuatnya bahagia. Ia bermimpi bertemu dengan ayahnya dan....ia melihat ibu berjalan dan meraih tangan ayah, sesaat ia bagahia hingga diujung pertemuan itu ia menatap heran dan bertanya mengapa senyum ayah dan ibu tidak ada hentinya..dan mengapa ayah mengajak ibu dan meninggalkannya berdiri disitu..ahh...ia pikir mungkin mereka ingin membelikan sesuatu untuknya.

Gelap mulai menyinsing, berganti warna jingga kemerahan, suasana pagi itu sudah tampak ramai oleh suara-suara kehidupan, anak-anak berlarian, abang-abang asongan sudah mulai mejajakan jualannya satu persatu, ibu-ibu lalu lalang dengan tentengan ditangan, dan burung-burungpun berlari menari mengitari luasnya angkas raya

Lily memang anak yang mandiri, ia sadar betul untuk mengurus dirinya sendiri, ia tidak ingin merepotkan ibu. Lily sudah siap dengan seragam sekolah dan duduk manis dimeja makan, namun ia merasa heran biasanya ibu sudah menunggu di meja makan dengan senyum khas yang biasanya tapi...kali ini tidak ada sesuatupun diatas meja dan ibu juga tidak kelihatan.

“Buu....ibu...” panggil lily sambil mencari ibunya. Beberapa saat tidak ada jawaban, ia mulai kebingungan, akhirnya ia mencari ibu dikamar dan dilihatnya ibu masih tiduran. Lily mendekati ibu sambil metapa keheranan.

“Buu...ibuu...”panggilnya. Ibu tidak bergerak, disentuhnya tangan ibu, dingin. Digerakkan tangan ibu tetap tidak ada jawaban, diguncangnya lebih keras lagi dan lagi...hingga lily mematung. Dengan tangan bergetar ia mendekatkan jarinya kewajah ibu, tidak ada nafas. Ia pun tersentak.

“Ibuuu.....ibuuuuuu.............!!!” Gemuruh suara lily tak hentinya, ia terus memanggil-manggil ibu, entah berapa lagi ia histeris sambil mengguncang-guncang tubuh kaku nan dingin itu, tubuh yang rikuh dan terlihat lebih renta, baru kali ini ia memperhatikan detail wajah ibunya, kerutan yang selama ini tersembunyi, pipi cekung dan tubuh yang penuh dengan tekanan karena menahan perasaan yang dalam. Mata yang sudah tidak bercahaya lagi serta bibr kering dan pecah. Namun wajah itu terlihat cerah, lily melihat tajam sudut bibir ibunda, secuil sunggingan kecil. Ia masih berusaha senyum saat sang malaikat menjemputnya.

Kali ini sang waktu berjalan sangat lambat, detik demi detik seperti enggan untuk bergerak. Alunan ayat-ayat al-Qur’an padat memenuhi setiap sudut gubuk kecil itu, ibu-ibu duduk merapat dan satu-satu berusaha menenangkan hati lily. Ia hanya terdiam sambil menangis, matanya hampa, wajahnya kelam, jari-jarinya ditautkan karena menahan getaran yang sangat dashyat.

Waktu yang seperti enggan meninggalkan lily seperti tidak punya pilihan lain, keramaian tadi berganti keheningan, lalau lalang orang-orang sudah mulai berkurang, bahkan alunan ayat al-Qur’an semakin tenggelam. Hidup ini hanya dirinya sendiri, ia tahu ia tidak bisa menahan siapapun untuk menemaninya sepanjang waktu. Dan gelap kembali menguasai. Kini, malam ini bulan dan bintang muncul kembali menebarkan senyum cahayanya. Langit terlihat sangat terang malam ini, bahkan suara-suara kehidupan diluar sana tak mampu diredam oleh gelap malam ini.

Lily besimpuh ditempat tidur ibunya, kembali bayangan ibu menghampiri, ia melihatnya, melihatnya tersenyum, senyuman yang tidak akan hilang dari benaknya. Ia melihat tangan ibu merangkulnya dan memeluknya meski kehangatan itu tidak ada lagi. Sesaat lily sangat bahagia hingga air mata yang hampir kering tumpah kembali. Ia tertidur. Ia tahu ibu tidak akan ingkar janji, bahwa ibu akan selalu menjaganya disetiap tidurnya.

“Ibu....aku salah, mimpi itu salah.. “bathinnya “Kenapa ibu tidak bilang saja kalau ibu kangen sekali dengan ayah..kenapa ibu tidakbilang saja kalau ibu ingin pergi dan tinggalkan aku disini... kalau ibu memang ingin pergi aku pasti bisa mengerti bu... Cuma cara ibu ini terlalu mendadak, aku taku buu....” isak lily dalam tidurnya

“Aku salah...ternyata ayah dan ibu bukan ingim membelikan sesuatu untukku.......semoga ibu dan ayah bahagia” rintihnya. Tubuh yang biasa kuat menahan dingin kini menggigil sejadinya ditemani serbuan air mata hingga malam tak berujung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun