Kegiatan berbelanja merupakan salah satu bentuk dari konsumsi yang saat ini mulai mengalami pergeseran fungsi di berbagai negara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Saat ini berbelanja tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, melainkan saat ini dengan berbelanja seseorang secara tidak langsung dapat menunjukkan status sosial yang ia miliki. Semakin tinggi nilai seseorang dalam berbelanja, maka semakin tinggi pula materi yang ia miliki.Â
Dengan kecenderungan seseorang untuk berebelanja hal tersebut juga dapat memicu timbulnya impulsive buying. Impulsive buying sendiri  telah lama dikenal dan menjadi bagian dari dunia pemasaran, khusus nya untuk ritel, baik secara konseptual maupun praktis (Sari, 2014). Umumnya konsumen yang melakukan Impulsive buying tidak berfikir untuk membeli sebuah merek brand tertenu, karena mereka cenderung untuk membeli apapun yang menurut mereka menarik pada saat itu.
Verplanken dan Herabadi (dalam Sulistyawati, 2016) mendefinisikan impulsive buying sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak di rencanakan, diikuti oleh adanya konlfik pemikiran dan adanya dorongan emosional.
Perilaku impulsive buying dapat memberikann dampak negatif bagi pelakunya Rock (dalam, Sulistyawati) menyatakan bahwa pembeli yang melakukan impulsif buying cenderung akan mengalami konekuensi yang negatif, misalnya mengalami permasalahan keuangan, merasa kecewa atau menyesal dengan produk yang sudah di beli, merasa bersalah, hingga tidak dapatnya persetujuan produk yang sudah di beli dari orang di sekitarnya.
Gaya belanja yang lebih spontan juga dapat di antisipasi pada sewaktu -- waktu, misal pada saat hasrat untuk membeli terasa begitu kuat sehingga memicu terjadinya impulsive buying. Rook & Gardner dan Beatty & Ferrell (dalam Sari, 2014) menemukan bahwa konsumen dengan suasana hati positif lebih memungkinkan untuk melakukan impulsive buying dibandingkan dengan konsumen yang memiliki suasana hati negatif.
Perkembangan fashion yang semakin berkembang juga mempengaruhi keinginan masyarakat dalam berbelanja terutama pada masa remaja akhir. Karena fashion merupakan salah satu elemen penting dalam mendukung penampilan dan presentasi remaja dalam lingkungan sosialnya.
Ditambah lagi saat ini mulai banyaknya tempat perbelanjaan baik yang Offline maupun secara Online, sehingga konsumen dapat dengan mudah untuk mencari dan memiliki produk fashion yang di inginkan.
Menurut Synder (dalam Direzkia, 1999) self monitoring dapat melibatkan pertimbangan ketepatan dan kelayakan sosial, perhatian terhadap informasi perbandingan sosial (social comparison), kemampuan untuk mengendalikan dan memodifikasi diri dan fleksibilitas penggunaan kemampuan tersebut dalam situasi -- situasi tertentu. perubahan tingkah laku yang terjadi pada remaja dikarenakan adanya kematangan emosi individu yang belum stabil, sehingga mendorong berbagai gejala dalam perilaku pembelian yang tidak wajar (Diba, 2014).
Salah satu yang mendukung representasi remaja adalah fashion. Â Hount dalam Hoult (Hulock (Anastasia, 2008) menyatakan bahwa pakaian menentukan dikelompok mana seseorang di terima sebagai anggota. Dalam pakaian, remaja laki -- laki maupun remaja perempuan memiliki minat yang sama.
Hasil penelitian yang dilakukan Anastasia Anin f., Rasimin BS., dan Nurhayati Atamimi (2008) pada penelitian mengenai Hubungan Self Monitoring Dengan Impulsive Buying Terhadap produk Fashion Pada Remaja menyatakan bahwa self monitoring memiliki peran terhadap perilaku impulsive buying yang dilakukan remaja pada pembelian produk fashion.