Pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan akademik, terutama yang melibatkan figur otoritas seperti dosen, adalah masalah serius yang memerlukan perhatian khusus. Kasus yang melibatkan Prof B, seorang dosen di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara, menggambarkan betapa sulitnya bagi korban untuk melaporkan tindakan tersebut, terutama ketika pelaku memiliki kekuasaan yang dapat memengaruhi nasib akademik korban. Di tengah kondisi ini, penegakan hukum yang tegas adalah langkah penting untuk memberikan rasa aman dan keadilan bagi para korban.
Kasus dugaan pelecehan seksual oleh Prof B terhadap mahasiswi RA di UHO Kendari menunjukkan betapa besar tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa dalam melawan kekuasaan otoritas yang menyalahgunakan posisinya. RA, sebagai korban, harus berani melaporkan kejadian tersebut meskipun menghadapi ancaman dalam bentuk ketakutan akan nilai buruk. Keputusan untuk menuntut Prof B dengan hukuman penjara selama 2 tahun 6 bulan dan denda Rp50 juta adalah langkah penting dalam menegakkan keadilan, meskipun proses pembelaan dari pihak terdakwa belum disampaikan.
Kasus tersebut berawal saat RA, seorang mahasiswi di Universitas Halu Oleo, melaporkan dosennya, Profesor B, atas dugaan pelecehan seksual. Dugaan pelecehan ini terjadi di rumah sang dosen saat RA menyerahkan tugasnya. Ketika RA hendak pulang, Prof B secara tiba-tiba membuka masker yang dikenakan RA dan mencium bibirnya. RA segera bereaksi dengan mendorong bahu sang dosen dan keluar dari rumah tersebut. Pelecehan ini disebut sudah terjadi dua kali di tempat yang sama.
RA sempat merasa takut untuk melaporkan kejadian tersebut ke polisi, khawatir akan mendapatkan nilai jelek dari dosennya. Setelah mendapat dorongan dan dukungan dari kerabat, RA akhirnya melaporkan pelecehan yang dialaminya ke Polresta Kendari. Hal ini menunjukkan betapa beratnya beban psikologis yang harus dihadapi oleh korban dalam melaporkan tindak pelecehan, terutama ketika pelaku memiliki otoritas yang dapat mempengaruhi kehidupan akademiknya.
Membayangkan kekuasaan seorang dosen terhadap mahasiswanya bisa dianalogikan seperti hubungan antara gembala dan domba. Seorang gembala, yang dipercaya untuk menjaga dan melindungi domba-dombanya, memiliki kekuasaan besar atas mereka. Namun, ketika gembala tersebut menyalahgunakan kekuasaannya, domba-domba menjadi rentan dan tidak berdaya. Dalam situasi seperti ini, tindakan tegas dan intervensi pihak luar, seperti penegak hukum, diperlukan untuk melindungi domba-domba yang tidak berdaya tersebut dari penyalahgunaan kekuasaan gembala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H