Mohon tunggu...
Nathan Bulang
Nathan Bulang Mohon Tunggu... Petani - Perang Kefanaan

Pengembara

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Aksi Warung Pojok

24 Februari 2018   08:25 Diperbarui: 24 Februari 2018   08:29 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Gerimis manis mengurai indah di sela giat kami selaku aktivis, turut menyisakan tinta warna untuk aktivitas hari ini. Aku sebut saja sebagai gerimis yang manis supaya nampak indah, padahalnya itu hujan angin yang berisik yang cukup mengganggu nuansa perjuangan kami hari ini.

Sudahlah, lupakan saja itu karena dingin yang telah bercinta dengan hujan tadi itu sudah menyulut hangatnya segelas kopi di pojok itu. Bukan pencitraan, ini benar-benar kopi yang menghangati dingin sang hujan dan mengobati kepenatan kami lepas kegiatan hari ini.

Dawai idealisme menjadi sajian dan santapan kami kaum aktivis. Dalam kemudaan kami, tak punya apa-apa yang kami banggakan, semuanya masih harta orang tua. Idealisme adalah satu-satunya harta kekayaan yang kami punya. Harta yang tentunya kami terus jaga dan perjuangkan, harta kami aktivis.

Uang dan fasilitas mewah tidak kami miliki dan memang itu tidak akan menyurutkan semangat idealisme kami sedikitpun. Hanya bermodalkan panasnya obor semangat perjuangan di tangan kanan, kami tetap berjuang memperjuangkan yang patut di perjuangkan. Karena kamilah agen of change.

Hujan mulai reda di luar warung pojok itu, tapi tidak niat kami. Malah materi diskusi semakin panas dan sudah membulatkan tekad kami.

"Aduh, mama sms saya, katanya sudah jam 1 pulang sudah, besok kuliah pagi" kata teman di pojok warung pojok itu.

"Ah Bung, ini baru jam 1 dan pembahasan kita belum kelar. Dan isu ini dampaknya berkepanjangan dan korbannya kita semua warga NKRI. Pokok kita harus bertahan sebentar. Kata seorang yang di tengah itu, ya dialah koordinator kami.

"Okelah." Jawab sang teman itu singkat.

" harus begitu bung, saya juga baru saja pacar sms minta putus katanya tidak waktu buat saya. Ya mau bagaimana lagi, lebih baik kita korbankan diri kita demi orang banyak" timpal kawan si keriting itu yang berada di sebelahnya.

Satu jam berlalu, hujan di luar sudah berhenti. Waktu menunjukkan pukul 02.00 AM.

"Oke, semuanya sudah pas, mulai dari persiapan kita dan pelaksanaan teknis dilapangan. Tinggal kita persiapkan perlengkapan kita untuk besok." Kata sang ketua dengan wibawanya.

Masing bergerak mengambil piloks dan cat lalu mulai menulis di atas kain layaknya spanduk. Dengan semangat menuliskan kata-kata idealisme yang di perjuangkan, warung pojok di tengah malam itu tidak lagi tampak seperti warung. Tengah malam menjelma menjadi gudang atau apalah.

Warung pojok menjadi saksi semua aksi kami. Tak peduli kami tidak berharta. Tak peduli apa yang kami korbankan. Yang kami peduli adalah idealisme kami sebagai pemuda. Cinta kami akan NKRI.

Sebentar lagi mentari di hari sabtu pastikan tersenyum. Kami yakin itu.

Sabtu pagi, Kami berjalan memenuhi jalan raya menuju kantor DPR. Di depang kantor DPR kami menyampaikan materi aksi demo kami, melalui mobil komando dan orator kami. Tak lupa juga kami mengangkat spanduk yang kami sudah tulis semalam.

JANGAN KEBIRI HAK RAKYAT UNTUK BERASPIRASI DAN KRITIS

JANGAN MEMBUNGKAM RAKYAT

KAMI MENOLAK UU MD3.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun