Mohon tunggu...
Nathanael Maria David Teddja
Nathanael Maria David Teddja Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa

Hobi Menulis dan Tertarik akan Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kisah Siswa Katolik di Tanah Santri

20 November 2024   04:14 Diperbarui: 20 November 2024   07:08 931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kunjungan siswa SMA Kanisius ke Pesantren Nur El Falah (Sumber: Dokpri)

"Toleransi bukan hanya milik satu golongan umat beragama, tetapi milik semua golongan dan berlaku untuk semua pemeluk agama". -Lukman H. Saifuddin

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kaya akan keberagaman. Suatu kebanggaan yang seharusnya dijaga di masa kini. Namun, sikap intoleransi masih sering muncul di tengah masyarakat, terutama mengenai agama. Perbedaan agama, budaya, dan keyakinan yang seharusnya menjadi kekuatan justru menjadi akar dari konflik dan diskriminasi. Sikap keterbukaan pun masih belum terlihat, padahal dengan mengenali nilai-nilai keyakinan lain akan muncul persamaan yang dapat menciptakan tali persaudaraan. 

Dua Sisi Saling Melengkapi

Suara adzan membelah kesunyian subuh, memanggil para santri Pondok Pesantren Nur El Falah untuk shalat berjamaah. Para santri, dengan langkah ringan dan berpakaian rapi, mulai bergerak menuju masjid. Ini sudah merupakan kebiasaan bagi mereka yang tinggal di pesantren tersebut. Di sisi lain, sekelompok siswa SMA Kanisius, yang kerap dipanggil Kanisian dan tengah menjadi tamu di pesantren itu, menyaksikan rutinitas ini dengan penuh kagum dan hormat. 

Ya, siswa SMA Kanisius yang berasal dari sekolah Katolik sedang mengikuti kegiatan Ekskursi Lintas Agama mulai dari tanggal 30 Oktober 2024 hingga 1 November 2024. Mereka pun mencoba memahami makna spiritualitas yang berbeda dari tradisi yang biasa mereka jalani. Dalam keheningan subuh itu, terlihat keharmonisan yang mulai tumbuh di antara dua komunitas yang berlatar belakang berbeda.  

Pondok Pesantren Nur El Falah, seperti mayoritas pesantren di Indonesia merupakan tempat pendidikan berbasis Islam yang mengutamakan pembentukan karakter melalui ajaran agama, kedisiplinan, dan kebersamaan. Di sisi lain, para Kanisian, sebagai siswa dari sekolah yang bernaung di bawah tradisi Katolik, juga dididik dengan semangat untuk melakukan pendekatan yang mengutamakan perhatian pada keseluruhan pribadi manusia, baik dalam aspek spiritual maupun sosial. Meski berbeda, kedua komunitas ini memiliki misi serupa, yakni membentuk individu yang tidak hanya beriman, tetapi juga berkontribusi positif bagi masyarakat sekitar.  

Interaksi Keberagaman

Rutinitas kehidupan di pesantren dan sekolah Katolik memiliki ciri khas yang unik jika dibandingkan. Di Nur El Falah, hari dimulai dengan shalat berjamaah dan belajar mengaji, sementara di Kanisius, rutinitas dimulai dengan doa pagi bersama dan pelajaran yang mencakup tidak hanya aspek akademik, tetapi juga pembentukan nilai-nilai moral dan sosial. Meskipun pendekatan pendidikan mereka berbeda, keduanya berbagi tujuan yang sama untuk menciptakan generasi yang berintegritas dan peduli pada sesama. Kehidupan pesantren mengajarkan nilai kesederhanaan dan kedisiplinan, sementara pendidikan di Kanisius menekankan refleksi diri dan pelayanan kepada masyarakat.  

"Makan di Mat'Am," ucap Ustadz yang sedang berbicara di depan para santri dan Kanisian. Tentunya, selain latar belakang yang berbeda, bahasa beribadah kedua komunitas tersebut juga berbeda. Bahasa Indonesia yang biasanya digunakan untuk berdoa bagi umat Katolik harus menjadi bahasa Arab bagi umat Islam. Para Kanisian pun belajar bahasa Arab dan mencoba menggunakannya selama kegiatan. Salah satunya adalah "Mat'Am" yang berarti tempat makan. "Mat'Am" ini pun menjadi lokasi yang menyatukan para Kanisian dan santri Nur El Falah untuk berbincang-bincang serta menikmati waktu bersama.

Interaksi lintas iman antara Kanisian dan santri Nur El Falah menjadi contoh nyata bagaimana keberagaman dapat dirangkul dengan penuh rasa hormat. Dalam salah satu kegiatan yang mereka lakukan bersama, diadakan diskusi tentang nilai-nilai kasih dalam agama masing-masing. Para Kanisian menjelaskan makna cinta kasih dalam ajaran Katolik. Sementara itu, para santri menjelaskan konsep persaudaraan yang melampaui batas agama, bangsa, dan ras. Diskusi ini berlangsung dalam suasana yang penuh keterbukaan, menunjukkan bahwa nilai-nilai universal dapat menjadi jembatan untuk memahami perbedaan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun