Mohon tunggu...
Ida Bagus Suryanatha
Ida Bagus Suryanatha Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/Asisten Ahli Dosen/Universitas Palangkaraya/Sosiologi

Saya adalah tipekal manusia yang menjunjung tinggi ethos kerja, kesetaraan dan kejujuran dalan bekerja dan mengespresikan paradigma pemikiran yang tersubtansi dan sistematis tanpa adanya unsur kepentingan baik internal atau eksternal. Sebagai Pengabdian terhadap ilmu pengetahuan yang sekarang saya pegang dengan status menjadi seorang Dosen, saya mempunyai prinsip untuk mengkaji sebuah issue, fenomena atau pun sebuah permasalahan menggunakan rasionalitas dan pendekatan Teori Post-Modern yang kritis dan tidak terbatas oleh dimensi pemikiran yang subyektif.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Society of The Spectacle: Haruskah Kita Update Foto/Video di Social Media

17 Juni 2022   12:23 Diperbarui: 17 Juni 2022   12:32 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah yang satu ini sekiranya masih sangat asing di Negara +62 ini, namun sadar atau tidak sadar masyarkat Indonesia sangat banyak dan gemar untuk menunjukkan Achievement,"Siapa dirinya, Apa yang dia punya, Apa pekerjaanya, Dimana kerjanya, Berapa harta kekayaannya", dan berbagai hal lainnya yang dianggap menjadi sebuah diskursus penting untuk mempertontonkan sebuah Kekayaan dalam Social Media, istilah ini disebut Spectacle (tontonan). 

Sementara itu, belakangan jagat social media dan media berita baik online atau offline juga ramai membicarakan Flexing (pamer), yang dimana flexing ini secara subtansinya bagaimana kita menilai perilaku baik individual atau kelompok tertentu yang secara sengaja dan sadar memamerkan atau mempertontonkan dirinya demi sebuah regkonisi (pengakuan). 

Berangkat dari hal inilah, jauh sebelum istilah Flexing cukup ramai dibicarakan di Indonesia, di Negara-negara barat sudah ada sebuah kajian sosial terhadap Spectacle, dimana kajian ini menyoroti sekelompok masyarakat yang menunjukkan kelas sosialnya demi mendapatkan sebuah reputasi dan nilai lebih dalam pandangan masyarakat lain, dan mayoritas akan menggunakan sebuah kekuasaan dan kekayaannya dalam menunjukkan eksistensi dengan mempetontonkan sisi "Apperance" (penampilan) yang sekiranya akan menjadi cerminan bagaimana mereka memang layak untuk ditonton.

Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh salah satu Sosiolog dan Filsuf Perancis, Guy Debord. Pembahasan tersebut mengarah pada bagaimana sejarah sebuah "Tontonan" (Spectacle) bukanlah hanya sebatas kumpulan gambar namun itu adalah bentuk sosial yang dimana hubungan antara orang-orang yang dimediasi oleh gambar untuk membentuk sebuah citra (Debord, 2005:7). 

Menindaklanjuti pengertian tersebut, artinya gambar-gambar yang sengaja diciptakan tmemang akan secara implisit mengarahkan individu untuk menjadi gambar yang layak ditonton oleh orang lain, dengan begitu hubungan sosial yang dimediasi oleh gambar tersebut dapat dipahami sebagai teknologi yang secara nyata dapat menjadi manipulatif pada visual belaka yang merubah pandangan-pandangan objektif dari sebuah gambar yang dipertontonkan menjadi sebuah gambar yang penuh dengan kepalsuan semu. Dengan kata lain, bisa juga hal tersebut adalah hal yang tidak nyata.

Spectacle (tontonan) secara kontekstualnya mampu menundukkan manusia pada dirinya sendiri, tatkala keadaan ekonomi yang menjadi indikasi paling besar untuk manusia tunduk terhadapnya. 

Dalam konteks spectacle disini, selayaknya ketika seseorang mengalami keadaan ekonomi yang berkembang atau menanjak dikehidupannya, saat itu lah mereka wajib untuk melawan dirinya sendiri dengan ekonomi yang sudah mapan itu yang harus mereka bisa kontrol agar mereka tidak memamerkan secara fulgar dengan tujuan mempengaruhi atau bahkan melegitimasi kelompok tertentu. 

Sebuah tontonan yang dibangun berdasarkan dari dialektika yang terjadi pada era serba teknologi yang mendominasi kehidupan jutaan manusia ini memang sangat kental dengan dialog yang berfungsi untuk menyelediki sebuah masalah yang notabanenya muncul berawal dari kemampuan manusia yang mulai merasa mampu dari sector ekonomi sehingga muncul rasa untuk mempertontonkan dirinya pada khalayak public yang mengintegrasi pada sebuah konsep tontonan itu sendiri. 

Menurut Guy Deboard, spectacle mampu menundukkan manusia pada dirinya sendirinya karena ekonomi telah benar-benar mendukungnya untuk diasosiasikan kepada sebuah wadah yang tepat sebagai jembatan untuk menjadi sebuah tontonan (spectacle). Mengutip dari kumparan.com, artikel karya Maychaella Novita menjelaskan bahwa Teori Guy Debord pada dasarnya berangkat dari pola nilai Marxisme, yaitu pergeseran nilai being (ada) menjadi having (memiliki), yang dimana pola nilai tersebut secara berkelanjutan bergeser lebih jauh menuju eksploitasi nilai appearing (tampak).

Lebih lanjut, sangat masifnya masyarakat di Indonesia untuk aware (dekat) dengan media sosial terutama saat Internet menjadi salah satu kebutuhan yang sengaja diciptakan untuk dikonsumsi secara masal dengan intensitas tinggi ini terjadi sekitar awal tahun 2010 yang dimana dulu kita mengenal beberapa platform media sosial seperti; Friendster, Facebook, Twitter, Path, hingga sekarang yang sangat banyak diikuti yaitu Instagram. 

Popularitas Instagram ini memang sangat menunjang beberapa individua tau kelompok tertentu dalam meningkatkan eksistensi dan juga dalam mempertontonkan sebuah pencapaian dan kegemerlapan tersebut ke dalam sebuah gap atau kesenjangan sosial yang akan melegitimasi dan mendeskreditkan orang lain yang tidak mampu untuk mempertontonkan hal yang sama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun