Mohon tunggu...
Nathalia Geraldine Simanjuntak
Nathalia Geraldine Simanjuntak Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Wake up and thankfull

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Stigmatisasi Matematika dalam Proses Pembelajaran

17 Desember 2024   22:02 Diperbarui: 17 Desember 2024   22:02 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto Siswa (Sumber: Gambar Original Penulis))

Pemahaman terhadap matematika memiliki salah satu peran penting dalam membentuk pola pikir, terutama dalam membentuk kemampuan berpikir analitis, bernalar, logis, dan kritis. Meski begitu, matematika sering dianggap sebagai disiplin yang sulit dan abstrak, yang membuat banyak pelajar merasa enggan atau bahkan takut untuk mempelajarinya. Berdasarkan hasil PISA 2022, Indonesia masih berada di peringkat 68 dari 80 negara dalam penilaian dalam kemampuan matematika, dengan skor 372, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 472. Data ini tidak hanya mencerminkan tantangan dalam pembelajaran matematika, tetapi juga mengindikasikan adanya permasalahan mendasar dalam persepsi dan pendekatan terhadap matematika di Indonesia. Matematika mungkin tampak sulit dan terkesan kurang penting dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sebenarnya matematika adalah jenis sains khusus yang membantu kita memahami berbagai hal dengan lebih baik. Persepsi ini terbentuk bukan hanya dari kompleksitas materi, tetapi juga dari cara pengajaran yang cenderung mekanistis dan kurang kontekstual. Fenomena ini diperkuat dengan adanya "math anxiety" atau kecemasan matematika yang telah menjadi fenomena global, termasuk di Indonesia.

Matematika yang menjadi stigmatisasi dalam dunia pendidikan mencerminkan adanya ketidaksesuaian antara tujuan pengajaran dan esensi keilmuan matematika itu sendiri. Hal ini terjadi karena pengajaran matematika sering kali lebih menekankan pada aspek prosedural dan teknis yang membebani siswa, tanpa memperkenalkan mereka pada aspek konsep, pemahaman, dan penerapan dalam konteks dunia nyata. Akibatnya, banyak individu maupun pelajar menyikapi matematika sebagai pembelajaran yang sulit dan terlalu kompleks sehingga kurang menerapkannya dengan kehidupan sehari-hari, sehingga memperkuat stigma negatif terhadap mata pelajaran ini. Sebuah studi yang dilakukan oleh Yuliati (2021) menunjukkan  kurangnya minat belajar dapat disebabkan oleh persepsi bahwa matematika memiliki banyak rumus yang harus dipahami, yang membuat mereka merasa tertekan. Ketika matematika hanya diajarkan sebagai sekumpulan rumus dan prosedur untuk memecahkan soal-soal tertentu, banyak individu merasa terisolasi dan tidak melihat keterkaitannya dengan masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata. Hal ini menyebabkan banyak orang menganggap matematika sebagai pelajaran yang hanya relevan bagi mereka yang memiliki "bakat" atau kemampuan khusus, sementara yang lainnya merasa terpinggirkan dan kurang percaya diri dalam belajar matematika. Berdasarkan uraian tersebut perlu perubahan pembaharuan pemahaman  dan pandangan atau stigmatisasi terhadap matematika, yang salah satunya dapat dimulai dari pembelajaran matematika di sekolah.

Untuk mengubah dan memperbaharui paradigma seseorang agar terhindar dari stigmatisasi ini,  penting untuk mengubah pendekatan dalam mengajarkan matematika . Akbari dkk. (2022) dalam bukunya menyatakan "Pemahaman matematika tidak hanya terbatas pada hafalan rumus dan penerapan rumus tersebut untuk memecahkan masalah, tetapi juga merupakan proses kognitif yang melibatkan pemikiran kritis dan pemahaman yang mendalam terhadap teori matematika memerlukan eksplorasi dan manipulasi konsep pada berbagai tingkatan dan dari berbagai perspektif ". Salah satu model pendekatan atau metode belajar yang dapat dilakukan yaitu dengan cara mengintegrasikan pembelajaran berbasis masalah atau PBL(Problem Base Learning), dan Matematika Realistik atau RME(Realistic Mathematic Education).

Penerapan model pendekatan atau metode belajar Problem-Based Learning (PBL) dalam matematika bertujuan untuk meningkatkan pemahaman terhadap konsep, kemampuan mengambil keputusan, kemampuan dalam memecahkan masalah masalah, serta kemampuan berpikir kritis dengan melibatkan pelajar dalam penyelesaian masalah yang nyata, relevan, dan penuh tantangan. Pada penerapannya, individu dan pelajar dihadapkan pada situasi atau masalah yang kompleks dan harus bekerja sama untuk menemukan solusi. Model pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir secara kritis, bekerja sama, serta mengasah keterampilan dalam memecahkan masalah. Di sisi lain RME merupakan pendekatan yang menekankan pentingnya konteks nyata dalam pembelajaran matematika dan berfokus pada pengembangan pemahaman konsep matematika melalui pengalaman sehari-hari siswa. Pendekatan RME membantu siswa untuk membangun pengetahuan mereka sendiri melalui eksplorasi dan refleksi, yang membantu mereka memahami dan menerapkan konsep matematika dengan lebih baik. Untuk mendukung kedua pendekatan atau metode belajar tersebut agar berjalan dengan baik, perlu dibarengi dengan fasilitas yang relevan atau memadai, misalnya media pembelajaran matematika dan alat peraga. Dengan cara ini, minat akan matematika akan meningkat dan matematika itu sendiri tidak lagi dianggap sebagai disiplin yang terpisah dari dunia nyata, melainkan sebagai alat yang bermanfaat untuk memecahkan masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, baik di bidang sosial, ekonomi, maupun teknologi. Pendekatan dan metode pembelajaran ini tidak hanya memperdalam pemahaman konsep, tetapi juga merangsang perkembangan keterampilan berpikir kritis, bernalar yang baik, kemampuan analitis, dan pengambilan keputusan yang tepat, yang tentunya dibutuhkan dalam berbagai situasi kehidupan. Dalam penerapannya di sekolah, metode dan pendekatan pengajaran tersebut perlu lebih terfokus pada proses, bukan hanya hasil, sehingga para pelajar dapat lebih memahami dan mengerti prosesnya, karena dari proses itulah pola berpikir dan bernalar terbentuk.

Stigmatisasi terhadap matematika dalam pendidikan seringkali disebabkan oleh pendekatan pengajaran yang terfokus pada rumus dan perhitungan mekanistis tanpa mengaitkannya dengan konteks kehidupan nyata. Untuk mengubah hal ini, diperlukan perubahan dalam cara mengajarkan matematika di sekolah, dengan mengedepankan pemahaman konsep dan proses berpikir matematis. Pendekatan seperti Problem Based Learning (PBL) dan Realistic Mathematics Education (RME) dapat meningkatkan ketertarikan pelajar atau invidu dengan suasana pembelajaran yang lebih produktif, interaktif dan menyenangkan, serta mengurangi kecemasan matematika. Dengan menekankan pemahaman terhadap proses serta relevansi matematika dalam kehidupan sehari-hari, pendekatan ini akan membantu membangun dan memperkuat keterampilan berpikir kritis, analitis, dan logis, yang sangat berguna untuk menghadapi tantangan dalam dunia yang semakin kompleks.

Referensi

Akbari, U. F., Khasna, F. T., Meilani, D., & Seran, Y. B. (2022). Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Yayasan Penerbit Muhammad Zaini.

GoodStats : https://goodstats.id/article/mengulik-hasil-pisa-2022-indonesia-peringkat-naik-tapi-tren-penurunan-skor-berlanjut-m6XDt

Yuliati, I. (2021). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Ditinjau Dari Minat Belajar Peserta Didik. 05(02), 1159--1168.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun