Dia tersenyum melihatku yang berdiri di antara rak-rak, gantungan-gantungan dan kotak-kotak keranjang pakaian di dalam sebuah toko serba ada, aku mencium tangannya. “Maaf, terpaksa kemari” katanya. Aku mengangguk, memaklumi. “Sebentar, ijin dulu. Ibu tunggu saja di luar, di depan ATM yang dekat pos satpam, tahukan?” kali ini dia yang mengangguk.
***
Aku melihatnya berdiri di samping pos satpam dekat dengan bilik-bilik ATM aneka Bank. Dia memperhatikan orang-orang yang lalu lalang masuk dan keluar toko, sebagian menenteng tas-tas belanjaan. Hatiku kelu. Aku mengajaknya masuk ke dalam salah satu bilik ATM, dia menolak. “Di sini saja” aku menggamit tangannya, memaksa. Dia berdiri di sisiku. Matanya berbinar melihat kotak monitor ATM itu penuh warna dan tulisan-tulisan. Dia buta aksara. Aku tercekat saat kartu ATM itu keluar, sia-sia. “Tidak bisa diambil. Saldonya tidak cukup“. Dia tersenyum. Aku melihat kilatan embun di hitam bola matanya. Aku menghela nafas dalam-dalam, menahan tangis yang hampir luruh. “Sudah, tidak apa-apa” sekali lagi dia tersenyum. “Ibu, punya ongkos untuk pulang?” aku bertanya dengan suara tersendat, dia mengangguk. Memperlihatkan dompet kecil yang erat dia genggam. Sekali lagi aku mencium tangannya sebelum sosoknya perlahan pergi dan menghilang, lalu aku kembali masuk ke dalam toko serba ada itu, menunaikan tugasku. Hingga waktu kerjaku usai, embun dalam hitam bola matanya, terus membayang di pelupuk mata.
***
Bertahun setelah peristiwa itu berlalu. Selepas Isya yang gerimis, aku dan dia duduk bersisian. Segelas teh hangat bersanding manis dengan aneka macam donat yang iklannya berseliweran di layar kaca, mengundang selera. Sambil memandang arus sungai yang merambat naik di depan rumah sederhana, dia berucap dengan nada yang terlalu biasa. Serupa datar. “Ingat waktu Ibu menunggumu di samping pos satpam di depan bilik-bilik ATM untuk mengambil uang?”. Aku mengangguk. Mana bisa aku lupa. “Belum sesuap pun makanan masuk, dari malam hingga sesiang itu. Kau tahu, waktu itu kita tak punya uang sepeserpun, kecuali ongkos untukmu berangkat kerja, sedang aroma kue dari toko donat di depan toko tempatmu bekerja dulu, begitu menggoda” dia tersenyum, lantas melanjutkan bicara. “Sekarang setelah dimakan, ternyata rasanya tak terlalu istimewa. Yang tersisa hanya bon bukti, betapa mahal harganya” dia terkekeh, aku ikut tertawa. "Ternyata tempat kerjamu tak terlalu jauh. Hanya 4 jam bolak-balik" katanya lagi, sambil menyeruput teh. "4 Jam?" tanyaku heran. “Kau tahu, saat Ibu perlihatkan dompetku padamu? Tak sepeserpun uang di dalamnya. Pergi pulang menujumu, Ibu jalan kaki. Menyusuri pinggir jalan dan sungai. Kini sungai, tak usah kita susuri lagi, kita telah tinggal di bantarannya”. Dia menghirup teh hangatnya kembali, aku tercekat, kunyahan donat, tertelan lamat-lamat.
*****
Sumber Gambar : Danish Pastry (Bon Appetit) oleh Pandu Adyana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H