"It's bullshit kalau Lu bilang nggak harus memilikinya. Semua orang yang kita cintai, harus jadi milik. Itu sebabnya orang-orang, terutama orang seperti Lu, nangis berdarah-darah ketika cinta tak bisa dimiliki dan pergi" Ucapnya datar. Dan diakhir kalimat, dia menghembuskan asap rokoknya ke udara. Sekali lagi dia hembuskan, kali ini ke wajahku. "Yang Lu usahakan itu, belum seberapa. Masih banyak yang jauh lebih rela berkorban dibanding Lu. Korban perasaan, korban uang, korban badan. Dan untuk apa itu semua? Untuk bikin, orang-orang yang dicintai jadi milik, Lu ngerti?" Aku diam. Ingatanku melayang, pada banyak percakapan-percakapan kami di awal, pertengahan juga akhir hubungan antara aku dengannya. Beberapa benda saling kami berikan, serupa tanda bukti kasih sayang. Dan dia benar, semua itu seumpama mata uang dari Negara Republik Perasaan, agar apa yang diingini, terbeli dan jadi hak milik pribadi. "Beruntunglah kalau masih bisa tetap waras, ketika mereka yang sudah habis-habisan berkorban, tetap tak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Sering, keinginan tak berbanding lurus dengan kenyataan" Aku mengusap-usap bibir cangkir kopi. Lagi dia menghembuskan asap rokoknya, kali ini dia hembuskan kuat-kuat, seperti hendak melepaskan sesak. "Dan Lu harus berjanji untuk tetap waras. Gue nggak mau berteman dengan orang gila cuma gara-gara cinta, oke?" Aku tersenyum dan mengangguk, lantas meneguk kopi dalam cangkir hingga tandas. Meletakkan lembaran uang di bawah cangkir, berlalu.
***
"Berapa Mbak?" Seorang pria mengeluarkan uang untuk membayar secangkir kopi. Setelah itu, langkahnya bergegas mengikuti seseorang yang berjalan terburu lebih dulu.
***
"Kasihan ya? ngopi sendiri, ngerokok sendiri, ngomong sendiri. Dan dia menganggap lembaran-lembaran kertas berbentuk hati ini uang. Untung ada saudara atau pembantunya yang selalu mengikuti dan membayar kopinya" ucap pelayan kedai sambil mengambil cangkir bekas kopi yang dibawahnya terselip lembaran-lembaran kertas berbentuk hati, meremas dan membuangnya ke tempat sampah. Saya tersenyum. "Banyak orang stress gara-gara cinta. Padahal banyak hal yang jauh lebih bisa membuat gila dibanding cuma sekedar urusan rasa. Saya contohnya, harga kontrakan naik, ongkos angkot naik, tapi gaji tidak naik-naik, apa tidak stress?" lagi dia berujar sambil tangannya mendorong kursi-kursi merapat ke meja, saya hanya tersenyum. Hingga pelayan itu berlalu, saya tetap tersenyum. Senyum itu bukan untuk si pelayan, tapi untuk seseorang yang wajahnya selalu terbayang memenuhi pikiran dan angan-angan, menemani saya sepanjang hari. Senyum saya semakin kembang, karena kali ini, dia duduk persis di meja yang baru saja dibersihkan sang pelayan. Angin berhembus semilir, menerbangkan rerintik bunga-bunga akasia luruh, membuat jalanan di dekat kedai kopi, menguning, dan kursi-kursi itu, masih merapat dengan mejanya, tak tersentuh.
*************************
Foto "Perdebatan yang Seru" Shadow Project #1 oleh Ouda Teda
Ilustrasi musik "All I Know" oleh Five for Fighting
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H