Mohon tunggu...
Nathalia
Nathalia Mohon Tunggu... -

just outside my window..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penutup Mata yang Terlepas

26 April 2012   03:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:06 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Namanya Themis. Themis sang Dewi Keadilan” jawabku padanya. “Mengapa matanya ditutup, Ayah?” tanyanya lagi, sambil tetap memandang foto sebuah patung. “Itu simbol agar dia memakai hati nuraninya, selain pikirannya dalam memandang suatu perkara. Tidak akan silau dengan segala sesuatu yang terlihat dan disodorkan di depan matanya” jawabku. Dia mendengarkan dengan takjim. “Mengapa silau?”. “Iya Nak, silau karena dihadapannya disodori uang, kekayaan atau harta benda sebagai suap, agar dia tak bertindak adil” ucapku lagi. “Lalu kenapa harus membawa timbangan?”. “Timbangan juga simbol keadilan. Tidak berat sebelah. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Tidak memandang kaya atau miskin. Semua orang mendapat keadilan dan hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya” sahutku lagi sambil mengelus kepalanya. “Terus, kenapa orang-orang memanggilnya dengan sebutan ‘Yang Mulia’?”. “Nak, orang-orang yang memutuskan suatu perkara, dianggap punya kebijaksanaan lebih. Mereka bagai perpanjangan tangan Tuhan di dunia untuk memberi hukuman yang  setimpal kepada yang bersalah. Memberi keadilan kepada yang teraniaya. Namun seperti Tuhan, mereka memberi hukuman, bukan karena benci, tapi karena cinta kasih” aku menerangkannya panjang lebar, sambil menarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Dia, anakku, jagoanku. Umurnya baru 10 tahun. Entah mengerti atau belum, semua hal yang aku terangkan saat dia membuka-buka album  foto dan menemukan foto patung Themis, Dewi Keadilan yang terpajang di lobi kantorku, dan mulai bertanya. "Orang-orang memanggil Ayah seperti itu juga? 'Yang Mulia?". "Iya, tapi hanya saat sidang" sahutku lagi. “Berarti Ayah wakil Tuhan? Hebat!!.. Tapi mengapa Ayah akhir-akhir ini selalu di rumah? Ibu bilang, Ayah sedang libur. Kok liburnya lama? Terus kemarin aku sempat lihat foto Ayah di koran, sebelum Ibu membuang korannya ke tempat sampah. Di situ ada nama Ayah ditulis besar-besar, kalau Ayah kena cekal". Aku mengusap rambutnya. Semakin mendekapnya erat ke dalam pelukan. Kami duduk bersisian di sebuah sofa mewah yang terbuat dari kulit di ruang keluarga. “Tidurlah. Sudah hampir jam sebelas, besok sekolah kan? dia mengangguk. Aku meraih album foto yang ada dipangkuannya. Menutupnya, dan melepas pelukanku. Dia bangkit berdiri, sebelum beranjak pergi, sekali lagi dia bertanya, “Mengapa Ayah kenal cekal? Apa maksudnya?”. Aku menghela nafas dalam-dalam, menjawabnya dengan suara yang semakin lirih, “Semua demi Kamu. Demi Kamu, Ibu juga Ayah. Demi kita nak, Ayah melepas penutup mata itu”.

***

Sumber Gambar : Themis oleh Colourbox

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun