Mohon tunggu...
Nathalia
Nathalia Mohon Tunggu... -

just outside my window..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melarung Kenangan

9 Maret 2012   11:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:18 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1331291782447107882

ada cerita tentang aku dan dia

dan kita bersama, saat dulu kala

ada cerita tentang masa yang indah

saat kita berduka, saat kita tertawa *

Aku melipat koran, meletakkannya di meja, lalu menyeruput kopi yang entah mengapa, lekas sekali menjadi dingin pagi ini, mungkin karena hujan. Hujan, ah, masihkah hujan mengandung zat-zat yang sama? seperti ketika aku dan kau, berlarian di pematang sawah, berpayungkan tas sekolah yang kita junjung di kepala, sambil tangan yang satu, menenteng sepatu, berlari sekencang yang kita bisa hingga di ujung jalan desa, sebelum kita berpisah arah, pulang ke rumah. Masihkah hujan yang sama, kita, berkerudungkan sarung serupa ninja, mendekap juz'amma agar tak basah, dalam percik hujan yang terhalang rimbunan pohon bambu, pisang, kepel, nangka, sengon, jati juga trembesi sepulang mengaji, dan kita akhirnya berlari ketakutan saat pungguk mulai merintih, menyanyikan kerinduan akan sinar rembulan. Lantas, masihkah hujan yang sama, saat kita menyeret gedebong pisang, menyeburkan diri ke sungai yang menderas, dan kita serupa koboi, menunggang gedebong pisang itu, mengalir, mengikuti irama jeram air. Dan masihkah hujan yang sama, saat kita berboncengan naik sepeda Pak Kyai, tertawa riang dalam petir yang membahana, selepas kita membaca pengumuman di koran yang dipajang di balai desa, bahwa kita mendapat beasiswa dan diterima di sekolah tinggi negeri yang menjadi incaran ratusan bahkan ribuan anak-anak selepas SMA seperti kita. Bahkan hujan pula yang mengantar kita dalam gerbong kereta, menuju Jakarta, meraih cita-cita dan menjejak kaki, mengeyam tiap-tiap rumusnya hingga berjejalan di kepala, bahkan menelan sudut demi sudut bangunan di sekolah tinggi itu, tiga tahun lamanya. Entah mengapa, segala peristiwa tentang kita, selalu dibingkai rinai hujan. Ibuku bilang, hujan adalah doa, berzikirlah saat hujan, maka doa kita akan diantar malaikat naik sebanyak titik-titik air hujan dan diijabah oleh Tuhan. Lantas kita sepakat, hujan bagai restu bumi, pada kita anak-anaknya. Namun hari itu, tidak ada hujan. Mentari membakar, saat kau memelukku di tangga terakhir gedung sekolah. "Jangan lupa tetap kirim kabar ya?" kau berucap, aku mengangguk. "Tenang, toh tiap lebaran, aku usahakan untuk pulang, aku kangen..." "Kangen si anu ya? .. siapa itu namanya? ituloh anak gadisnya Pak Lurah" potongnya  dibarengi gelak tawa menghindar saat aku berusaha memukulnya dalam canda. Kemudian, tahun demi tahun berlalu. Kita yang berbeda penempatan tugas dan daerah, memudahkan putusnya jalinan kabar berita, tenggelam dalam samudera kesibukan pekerjaan. Sesekali saat hari raya, kita bertemu. Di pematang yang sama atau di ujung jalan yang sama, di antara keriuhan desa yang ramai, paling tidak sekali dalam setahun, oleh orang-orang seperti kita, kaum perantauan. Riuh oleh orang-orang yang pulang, pulang kepada keluarga, saudara, tanah ulayat, pulang ke rahim kenangan masa anak-anak. Saat pulang itulah aku mengetahui tentangmu. Kau yang semakin sukses, karirmu yang naik, bisnismu yang mulai merambat, melilit menuju puncak, bagai akar-akar tuba yang sering kita potong lalu cacah untuk meracuni ikan di irigasi sawah, dan lantas membuat belut-belut keluar kemudian meregang nyawa saat kita bakar bersama di damen sisa pembakaran merang. Tak sekalipun terbersit iri dalam hatiku. Meski beberapa orang mulai bergunjing, mengapa kita yang bekerja di instansi yang sama, tapi aku tak bisa seperti kau.  Bukankah rejeki manusia sudah mempunyai gelas takarnya masing-masing? Aku malah bangga, bahwa kau, yang sukses itu, adalah temanku, teman kecilku, teman sekolahku, kau, temanku. Aku menghela nafas. Seminggu ini, aku memikirkanmu. Namamu terpampang di koran-koran. Wajahmu tertayang dalam TV, serupa iklan, sebagai pesakitan. Kebanggaan akanmu lenyap sudah. Masihkah aku akan menganggap kau teman yang sama? serupa hujan yang sama? entahlah. Hujan terus saja turun, menderas, melarung kenangan.

*****

Tanda *  merupakan petikan lagu Semua Tentang Kita oleh Peterpan Sumber Gambar : Stair at Bromo oleh Pandu Adyana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun