Aku terpaku. Pak Haji Misbah, menepuk pundakku. "Pulanglah, masih ada Ibumu di rumah, setelah itu nyekarlah. Kau mau kuantar?" Aku menggeleng. "Berapa Pak?" aku merogoh saku, hendak membayar kopi yang baru saja kuminum. Dia menggeleng, "Wis ra usah" "Tapi.." aku hendak bersikeras. "Wis, pulanglah" Kata Pak Misbah lembut, Mak Yum pun mengangguk. Aku berdiri, menggamit ranselku, pamit, kali ini, aku mencium tangan Pak Misbah juga istrinya. Ekor mataku melihat wanita tua itu, menyusut air mata dengan ujung jaritnya perlahan. Mata mereka mengawasi, seakan khawatir, aku akan berbalik, dan tak jadi pergi ke rumahku. Rumah ini, masih seperti yang dulu, hanya terlihat semakin renta. Delapan tahun yang lalu, aku meninggalkannya, dengan rentangan lengan Bapak dan telunjuknya menunjuk ke pintu, menyuruhku pergi. Siti, adikku dan Ibu berpelukan dengan air mata menderas. Pintunya terbuka separuh, pelampang bekas nujuh hari bapak masih terpasang. Mungkin para tetangga sengaja tak membongkarnya untuk tahlil empat puluh hari nanti. Aku berdiri di samping rumah.Suara kerekan timba, sayup-sayup terdengar, mungkin Siti sedang mengisi balongan. Asap tipis membumbung dari dapur di belakang rumah, bersamaan dengan kenangan samar senyum bapak di dekat jemuran saat dia menyuruhku membantunya, menjemur helai demi helai tali dari batang pelepah pisang, dadaku semakin terasa sesak, aku meragu. Baru saja aku hendak berbalik arah, sebuah suara memanggilku, "Naim, kowe ndak kangen Ibu, ngger?"
*****
Terinspirasi dari : Pulang, Rindu Tebal & Cerpenisasi Lagu Iwan Fals; Rindu Tebal
Om Naim, maaf namanya dicatut :)
Sumber Gambar : Rembang oleh Mbah Sumobagor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H