"Ayo sini" aku menepuk batu di sebelahku duduk, sebagai ajakan. "Duduk sini nak, dekat ayah" kali ini aku membentangkan tangan. Langkahnya takut-takut, lantas beranjak menjauh dari pelukan ibunya, istriku. Jarak yang dia tempuh tak jauh, hanya beberapa langkah. Namun berjalan di atas bebatuan bukanlah hal yang mudah bagi anak usia belum lagi genap tiga tahun. Pancaran bola mata ibunya menandakan kekhawatiran. Banyak celah, banyak rongga, banyak lubang. Juga sisi-sisi tajam bebatuan. Pula, deburan ombak yang bercipratan tak putus menghantam. Namun aku bersikeras. Dia harus mau melangkah. Dia harus berani menapak. Dia harus mencoba, betapapun tak bersahabatnya bumi yang dia pijak. Dan dia harus yakin, dia akan sampai, sejauh apapun jarak. Mungkin pemikiran ini terlalu jauh bagi anak seusia itu. Namun dia laki-laki, kelak akan sendiri. Besar nanti, dia harus jadi nahkoda yang mampu membaca gugusan sang Beruang Besar (*) sebagai petunjuk arah. Meski mungkin pada akhirnya, hanya Lintang Kemukus (**) yang menuntunnya pulang. Kini dia sudah berada di sisiku. Duduk di bebatuan pemecah ombak yang terjauh. Membiarkan debar dan debur ombak berkejaran, menuju hangatnya ciuman bibir pantai. Percikan air sesekali menerpa raga. Matanya berbinar indah. Ketakutannya sirna. Senyumnya rekah. "Langkahku purna Ayah" aku membatinkan kata, untuknya. Untuknya? entahlah, mungkin kata itu, sebenarnya untukku.
***
Judul terinspirasi dari lagu Iwan Fals "Nak"Â sila berdendang dan lihat videonya di sini
Ilustrasi foto "Pagi di Pantai Ipi, Ende" oleh Eddy Due Woi
(*) Gugusan bintang (rasi) Beruang Besar/Biduk (Great Bear) sila baca di sini
(**) Lintang Kemukus sila baca di sini
ini sebagai permohonan maaf, untuk seseorang, yang padanya, terbersitkan harap
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H