Mohon tunggu...
Nathalia
Nathalia Mohon Tunggu... -

just outside my window..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Di Sebuah Sudut

24 April 2012   15:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:10 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1335280378747573026

panasnya matahari membakar telapak kaki siang itu di sebuah terminal yang tak rapi.. Aku melompat turun dari sebuah Metromini yang terus melaju perlahan ke dalam area terminal. Matahari sedang diskon hingga 70 persen, panasnya membakar ubun-ubun, menambah pusing kepalaku, karena lapar. Sejak kemarin sore, aku belum lagi makan. wajah berjalan kaki kusut mengutuk hari jari-jari kondektur genit gonta-ganti.. Orang-orang lalu lalang di antara Metromini, Kopaja, bus-bus hingga Transjakarta. Kendaraan-kendaraan menebar asap dari pantat knalpotnya yang berjelaga. Panas semakin menyengat, berbaur dengan keringat, mata-mata terpicing melihat nomor-nomor angkutan dan rute tujuan. Aspal semakin legam, mengkilat, meleleh, membuat lekat. Tangis bocah dalam gendongan ibunya yang haus minta susu. Rengek anak kecil meminta permen atau minuman kemasan aneka warna yang dijajakan pedagang asongan yang bersliweran. Teriakan kondektur-kondektur memanggil penumpang atau sekedar pengumuman, tujuan akhir, pun awal telah sampai. Udara menguap bersama asap dari kompor tukang gorengan, bergandengan dengan asap rokok, asap knalpot bahkan sepertinya kepalaku mulai berasap. dari sebelah warung sebelah WC umum irama melayu terdengar akrab mengalun.. Aku melangkahkan kaki ke arah toilet umum di dekat sebuah taman. Taman? itu hanya sepetak lahan yang dipagar pemerintah kota, tak terurus, seperti sekedar pemberi jeda. Namun paling tidak, taman ini sedikit memberi kedamaian di antara hiruk pikuknya terminal. Beberapa pohon angsana, membesar, menjulang dan daun-daunnya yang lebat, memayungi taman dari hantaman sinar matahari atau sekedar rintik gerimis. Masuk ke dalam salah satu biliknya, menuntaskan hajat. Puas mengosongkan kandung kemih, aku hanya menepukkan lipatan koran yang sejak tadi kupegang kepada si penjaga, yang sejak awal aku masuk ke toilet ini, dia seketika berhenti mengikuti Pak Haji si Raja dangdut bernyanyi. Mulutnya yang sudah dower dan hitam, semakin terlihat hendak jatuh, saat mencibir ke arahku yang menyeringai dan terus saja berlalu. bocah kurus tak berbaju yang tak kenal bapaknya tajam matamu liar mencari mangsa.. Aku melompati pagar taman. Duduk di bangku batu yang warna catnya sudah menghilang. Entah itu awalnya warna apa mungkin merah, biru atau kuning. Ah, warna-warna untuk fasilitas umum di negeri ini, selalu identik dengan warna partai-partai yang sedang berkuasa. Beberapa bocah pengamen berlarian, berkejaran, bercanda di dalam taman. Ada yang duduk diam bersandar pada batang pohon angsana, sibuk ngelem dan terbang menjelajahi negeri impian. ramai para pedagang datang tawarkan barang ratap pengemis bak meriam dalam perang.. Di tengah taman, dekat air mancur yang sudah lama almarhum, beberapa pedagang asongan menyusun barang dagangannya. Koran-koran yang disusun ulang. Minuman-minuman yang ditukar posisi. Buah-buah yang diatur rapi ke dalam kotak-kotak kardus sebelum kembali berjibaku ke tengah terminal yang berdebu. Di sudut dekat sebuah tiang lampu yang tutupnya telah pecah, seorang pria tua, meluruskan kaki yang telah beberapa jam sebelumnya dia tekuk dan sembunyikan ke dalam celana panjangnya. Disebelahnya tergeletak sebuah tongkat untuk melengkapi sandiwaranya. Sebatang rokok terselip di bibirnya. jemarinya menyusun lembaran-lembaran uang. Tak berapa jauh darinya, seorang gadis kecil, membalik gitar kecilnya, menumpahkan beberapa lembar dan logam yang kini berceceran di tanah di depannya, lalu tangan dan mulut mungilnya, sibuk memunguti dan berhitung. Aku memandang mereka, lantas tersenyum sendiri dan merogoh saku belakang celanaku. Membuka sebuah dompet, menilik isinya. Kartu tanda penduduk, kartu tarik tunai, kartu nama, kartu pelanggan sebuah toko serba ada, foto seorang pria, foto lagi, kali ini, seorang pria yang berdiri memeluk pinggang si wanita dari belakang dan struk-struk belanja. Aku mendongak, memandang berkeliling. Ini sudah lewat tengah hari, perutku sudah teriak minta diisi. Aku merobek-robek semua benda-benda tak berharga tadi, menarik semua lembaran uang yang ada. Mengantonginya ke dalam saku, dan melempar dompet berwarna merah muda itu ke tong sampah sambil berlalu. Itu pun bila masih pantas disebut tong sampah.

*****

Tercetak miring adalah syair lagu Terminal oleh Iwan Fals & Franky Sahilatua Sumber Gambar : Ketika Lampu Merah Menyala oleh Teguh Santosa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun