kata cintamu serupa peluru menghujam, mengoyak, merobek-robek tiap sendi darahku dan senyummu bagai asapa-asp mortir berkelebatan, menghapus ingatan dan yang terlihat hanya kau dan kau, melayang-layang dalam pikiran "Bagus ga?" Aku mengambil kertas yang dia sodorkan padaku, membacanya. Aku tersenyum. "Itu yang mau kau kasih?" Dia mengangguk, meski ragu. "Yakin?" "Yak.. eh nggak" sahutnya terbata. "Puisi tuh yang romantis. Mana ada puisi cinta kaya itu? Itu sih ngajak perang" kataku lagi sambil terus menyemir sepatu. "Puisinya Sapardi* tuh romantis. Kasih saja itu, kalau kau tak bisa buat sendiri" kataku lagi, sambil kini menggosok brasco pada kepala timang ikat pinggang. "Bah!! Biar begini, aku tidak mau menyontek-nyontek karya orang lain. Itu namanya palsu. Cintaku kan asli" tukasnya sambil mulai mencoret-coret. "Kau tidak menyemir sepatumu?" tanyaku. Aku melihat sepatunya masih saja tergeletak di kolong tempat tidur. Tak terjamah. "Ah, itu bisa nanti. Lagian, ini kan hari libur. Ini dulu yang penting. Bisa kacau aku, kalau pas hari ulang tahunnya, aku tak memberinya kado" katanya lagi. "Perempuan sekarang tidak doyan puisi. Mereka lebih suka benda. Kalau kau tak mau susah, kasih saja uangnya. Mereka akan membebek kemana pun kau pergi" Aku memakai sepatuku juga sabuk yang sudah aku bersihkan tadi lalu merebahkan tubuh ke tempat tidur. "Dasar kau playboy kenthir. Nasib kau saja yang tak beruntung, selalu pacaran dengan perempuan- perempuan matre" serunya sambil merobek kertas yang berisi puisi tadi, meremas-remasnya hingga tergulung dan dibuang di lantai. Beberapa gulung kertas yang serupa bola, berserak di sana. "Yang penting sebanding dengan apa yang aku dapat.. hehehe" sahutku kalem. "Kau saja yang tak bisa menghormati perempuan. Makanya, perempuan pun tak menghormatimu" ucapnya. untukmu aku berjuang meski harus menembus barikade lawan untukmu dik yang kusayang sabarlah menunggu hingga abang pulang dari medan juu..... "PRAJURIIITT!!!!!!" Suara menggelegar terdengar dari depan pintu di ujung barak, memenggal barisan puisi yang dia ucapkan. Aku terbangun, bergegas dan bersiap di sisi tempat tidur. Komandan kami mulai berjalan, memeriksa satu demi satu. Temanku tergagap. Sepatunya belum sempat di semir, timangnya belum digosok, belum lagi sampah kertas yang berserak. Lesu, dia berdiri di sisi tempat tidurnya. Dengan suara terkekeh pelan aku berucap padanya, "Prajurit tak membuat puisi. Siap-siap saja kau, push up 100 kali".
***
Sumber Gambar : Koleksi Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H