Aku melihatnya berdiri terpaku. Sendiri saja,di tengah-tengah. Bergegas, aku ikut berdiri di sampingnya. "Kamu sedang apa? mengapa hanya berdiri di sini? Sedang menunggu seseorang? Menunggu godot?" Tanyaku. "Atau kau sedang menunggu Dewa Keadilan? Percumaaa!! Dewa Keadilan sudah pergi" Dia diam. "Kalau ditanya itu jawab, jangan cuma diam. Apa kamu seperti mereka? Tidak punya kuping?" Tak ada jawaban, hanya keheningan, kembali aku berucap. "Kau tahu kemana Dewa Keadilan pergi? Aku tahu. Ssssstttt.. sini Kau kuberi tahu, tapi ingat jangan bilang-bilang kepada siapapun. Ingat, ini rahasiaaaaa... Rahasia besaarrr" Dia tetap diam. "Dewa keadilan telah pergi bersama Uang. Mereka pergi menuju Matahari dan terbakar bersama di sana. Mereka mati, mati, matiii!!!" Seruku setengah berteriak di depannya. Aku melihat matanya kini memerah. "Hei!! apa-apaan kamu? Kenapa kamu malah melotot? Apa kau tak rela Dewa Keadilan mati? Aku juga!! Tapi kau jangan melotot padaku. Melotot dan marahlah pada Uang. Bukan aku" Dia bergeming, matanya semakin merah. "Lihat, itu lihat, matamu semakin merah. Kamu marah??? Lalu Kamu mau apa???" Aku menyingsingkan sebelah lengan bajuku, lantas memasang kuda-kuda. "Percuma kau punya banyak kuping. Raba, raba-lah sendiri kupingmu yang ada tiga, masih juga tak mendengar??? Kau sudah tuli?" Dia tetap berdiri terpaku. Malam semakin tua, dinihari menjelang sudah. Aku semakin kesal. Beberapa kali matanya memerah. Aku mulai menyingsingkan lengan bajuku yang satu lagi. Tanganku terkepal, aku mulai memasang kuda-kuda semakin kokoh, bersiap-siap bila dia menyerangku. Dia masih terdiam, matanya menyala merah, saat segerombolan pengendara motor yang berpacu sambil menyabetkan senjatanya ke segala arah,membabi buta, termasuk ke arahku dan arahnya. Aku kena, dadaku terkena, seruku. Kau tak ingin menolongku? Bukankah aku tidak menyerangmu seperti gerombolan setan yang tiba-tiba menyabetku tanpa aku tahu, apa salahku? Bukankah aku malah memberi tahu-mu sebuah rahasia? seruku padanya sambil menatap dia yang tetap diam seribu bahasa. Darah perlahan mengucur. Dadaku mulai sesak. Kepalaku Menjadi pusing. Keadaan gelap semakin menggelap, aku jatuh tersungkur. Sebelum mataku benar-benar tertutup, aku melihatnya lagi, sekali lagi. Dia tetap diam, bergeming. Hanya matanya saja yang terus berganti-ganti warna. Merah, kuning, hijau lalu kembali merah, begitu seterusnya.
*****
Judul terinspirasi dari penggalan lirik lagu Surat Buat Wakil Rakyat oleh Iwan Fals Sumber Gambar : A feather on water in a park in Bath by Haberlea
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H