melati dari Jayagiri
kuterawang keindahan kenangan
hari-hari lalu dimataku
tatapan yang lembut dan penuh kasih *
Beberapa minggu belakangan ini, aku selalu saja mendengar syair lagu itu mengalun sayup-sayup dari mulut Bapak. Senandung yang menemaninya menyirami tanaman di pekarangan di samping rumah kami, persis di luar jendela kamarku. Sejak purnatugasnya, hanya itu yang kini menjadi kesibukan Bapak sehari-hari. Mengurus aneka jenis tanaman di pekarangan rumah kami. Dan selepas wafatnya ibu sepuluh tahun yang lalu, sepertinya hanya tanaman-tanaman itu saja tempatnya berbagi kasih sayang selain aku, anaknya tentu saja. Aku merasa kasihan, mungkin terkadang bapak kesepian. Seringkali aku membujuknya untuk beristri lagi, tapi Bapak hanya menggeleng. Bukan aku tak mau melayani kebutuhan Bapak, tapi aku berpikir ada beberapa kebutuhan Bapak yang tentu tak bisa aku penuhi dan hanya seorang istrilah yang bisa memenuhinya. Terkadang, aku pun sibuk dengan urusanku sendiri selain disibukkan masalah pekerjaan. Namun begitulah Bapak, selalu menolak. Dia berdalih cintanya hanya kepada Ibu seorang, romantisnya. Lantas Bapak memilih menyibukkan dirinya untuk merawat tanaman-tanaman. Dua tahun terakhir ini, Bapak memutuskan tidak hanya sekedar merawat dan menambah koleksi tanaman kami, tapi mulai menjualnya. Bapak bilang, hasilnya lumayan. Hasil yang didapat bisa digunakan untuk tanaman-tanaman itu kembali. Untuk membeli pupuk, vitamin, pot-pot dan keperluan lainnya. Bapak bilang, tanaman kami memenuhi kebutuhannya sendiri. Dan begitulah, Bapak sekarang menjadi penjual bunga. Seringkali pagi-pagi sebelum aku berangkat kerja atau sore saat pulang, ada saja tamu yang datang. Entah pembeli atau penjual tanaman. Rumah  menjadi sedikit lebih ramai. Aku merasa senang, dengan begitu Bapak pasti tidak lagi merasa kesepian. Dia tidak lagi di rumah sendirian dan cuma bertemankan Mak Nah yang hanya datang setiap pagi dan sore untuk membantu membereskan rumah. Aku menyambar handuk menyampirkannya di pundak dan keluar kamar hendak ke kamar mandi, saat kudengar suara seorang perempuan menyapa Bapak. Lagu yang lamat-lamat Bapak lantunkan menghilang, berganti suara Bapak yang terdengar sumringah mempersilahkan wanita tersebut masuk. Aku melihat samar sosok seorang wanita berdiri di antara pot-pot anggrek yang bergantungan. Penasaran, aku berbalik arah menuju ruang tamu, mendekat lantas memandang dari balik gorden putih tipis penyekat kaca jendela. Wanita itu mungkin terpaut sepuluh atau dua puluh tahunan dari Bapak yang sekarang berumur enam puluh lima tahun.  Memakai baju berwarna kuning cerah dengan jilbab putih sederhana, terlihat anggun. Wajah dan kulitnya yang putih bersih, semakin cerah bercahaya terkena sinar matahari yang menerobos masuk di sela-sela jaring yang dipasang di para-para untuk melindungi tanaman anggrek. Baru kali ini aku melihatnya, walau akhir-akhir ini Bapak sering bercerita tentang langganannya yang suka sekali anggrek-anggrek koleksi bapak. Nada suara Bapak yang bersemangat saat menceritakannya, serta matanya yang berbinar-binar, membuat aku penasaran tentang orang tersebut. Mungkinkah wanita itu, yang sekarang sedang berdiri berbincang dengan Bapak sambil sesekali tangannya mengusap-usap aneka tanaman di sekitarnya dengan penuh kasih sayang, seperti Bapak yang juga bersikap demikian kepada semua tanamannya. Aku melamun, berdiri terpaku di depan jendela tanpa sadar dan kaget ketika Bapak membuka pintu, lantas tiba-tiba mereka berdua telah berdiri tak jauh dariku, dan Bapak berkata, "Ah, Dik Sri, perkenalkan ini Dio, anak saya satu-satunya" "Ah, eh .. duh maaf, eh iya tante, saya Dio" tergugup aku menyambut uluran tangan wanita di depanku. "Sri" sahutnya tersenyum. Aku melihat binar cinta di bening matanya, binar yang sama terlihat juga di mata Bapak.
*****
* Petikan Syair Lagu Melati dari Jayagiri Oleh Bimbo
Sumber Gambar : Petunia Kuning oleh Inge
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H