Mohon tunggu...
Nathalia
Nathalia Mohon Tunggu... -

just outside my window..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuket Bunga Mawar Merah

25 April 2012   16:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"I Love U, Lou" Aku menghela nafas. Menyelipkan kembali kartu kecil yang terikat di buket bunga mawar merah yang baru saja kuterima. Buket bunga mawar merah itu, tergeletak pasrah di atas meja di depanku. Setiap senin pagi dan selalu jam 10 pagi, buket bunga mawar itu datang. Mawar merah dan selalu mawar merah. Dan ucapan di kartu kecil pengiringnya, juga selalu sama, "I Love U, Lou". Dan itu telah terjadi selama tiga bulan belakangan ini. Namun aku tetap belum tahu, siapa pengirim buket-buket bunga mawar merah itu. Aku telah berkali bertanya kepada kurir pengirim bunga yang selalu berganti-ganti orang, tapi dari toko bunga yang sama dan mereka selalu menggeleng. Aku juga menelepon toko bunga yang mengirimkan bunga itu padaku, tapi mereka hanya menjawab, bahwa si pemesan melarang mereka untuk memberi tahuku. Teman-teman di kantor awalnya heboh tentang kedatangan buket bunga mawar itu. Mereka menggodaku. Mereka mulai mencurigai satu-persatu teman-teman di kantor yang masih single, yang mungkin saja, diam-diam menaruh hati padaku. Semua tebakan mereka salah. Lalu mereka mulai memindai teman-teman di media sosial yang aku punya, lagi mereka gagal. Akhirnya teman-teman bilang, aku punya pengagum rahasia. Seminggu, dua minggu, sekali, dua kali, saat buket-buket itu datang, mereka selalu menggodaku. Bahkan mereka menilik buket bunga mawar itu dengan teliti,bolak-balik, seakan dengan begitu mereka akan tahu siapa pengirimnya. Usaha yang sia-sia. Kini mereka mulai tak acuh. Sepertinya kedatangan buket bunga mawar merah untukku, sama saja dengan koran pagi langganan yang datang ke kantor. Aku pun mulai mengacuhkannya. Setiap buket bunga itu datang, kadang aku malah memberikan buket bunga itu kepada teman-temanku. Kecuali kartunya. Aku menyimpan kartu-kartu itu di dalam laci meja kerjaku. Dan aku menuliskan tanggal, kapan buket bunga mawar merah itu datang dan kuterima. Buket bunga yang kuberikan kepada teman-temanku biasanya menjadi rebutan. Setiap teman wanita bahkan terkadang teman pria, ikut mengambilnya, seorang satu. Oh iya, buket bunga itu, selalu berisi 7 batang bunga mawar merah. Selalu tujuh, tidak lebih, tidak kurang. Jadilah setiap minggu, di meja beberapa teman, selalu ada sekuntum mawar merah. Entah terselip di antara kubikel. Entah tergeletak di dekat monitor komputer. Kadang berdesakan di kotak alat tulis di meja kerja mereka. Bahkan sekretaris direktur kami, wanita yang sudah paruh baya itu, memotong batangnya dan menyisipkannya di baju blazer hitam yang dia pakai, hingga beliau terlihat semakin anggun. Namun aku tetap penasaran walau tak lagi terlalu mencari tahu, siapa pengirim buket-buket bunga mawar itu. Awalnya aku merasa buncah, menebak-nebak siapa dia. Kemudian aku mulai penasaran. Lantas aku merasa terganggu. Dan akhirnya aku mulai tak peduli. Tak peduli? benarkah? entahlah, toh aku tetap saja menyimpan kartu-kartu kecil berisi ucapan cinta itu ke dalam laci mejaku. Di bilik hati kecilku, aku tetap penasaran, siapa dia? Teman sekantorkah? Teman di media sosialkah? Teman di perjalan? Atau yang lebih parah, apakah aku mengenalnya? Mengapa dia tak mengatakannya langsung padaku? Hari ini, buket bunga ke empat belas itu datang. Aku memutuskan untuk menyimpannya sendiri. Dan buket bunga ini datang bukan di hari Senin pagi seperti biasa, tapi di hari Jumat. Senin kemarin, buket bunga mawar itu datang sesuai jadwal. Namun hari ini, di hari yang tidak biasa, buket bunga itu pun berwarna tak biasa. Putih, tujuh kuntum mawar putih.

***

Aku selalu melihatnya setiap pagi dari balkon kamarku. Dia menggerakan tangannya ke atas lalu menariknya ke kiri dan kanan. Sedikit pemanasan, sedikit peregangan, sebelum dia mulai duduk bersila, mengatupkan kedua tangannya di depan dada, menutup kedua matanya dan mulai bermeditasi. Aku bisa melihatnya bermeditasi di antara  celah-celah pagar balkon. Dia terlihat bagai arca seorang dewi di antara taman bunga. Iya taman bunga. Di antara balkon-balkon, apartemen-apartemen yang ada di seberang balkon apartemen-ku ini, hanya balkonnya yang penuh dengan tanaman. Dan semua hanya bunga mawar. Oh iya, aku lupa sesuatu, dia selalu menyiram dulu tanaman bunga-bunga mawarnya sebelum memulai ritualnya. Bunga-bunga itu di tanam dalam pot besar dan kecil. Mawar putih, kuning, merah jambu juga peach. Sepertinya ada satu yang kurang. Ah, merah. Ya mawar merah. Mengapa tak ada bunga mawar merah di sana? Itu membuatku penasaran dan ingin bertanya padanya. Mengapa tak ada mawar merah? apakah dia lupa menanamnya? Tidak sukakah dia pada mawar merah? Atau pohon bunga mawar merahnya tak pernah berbunga? Jangan-jangan dia tak ingin, bunga mawar merah itu akan menyaingi rambut panjangnya yang berwarna merah dan bergelombang indah? Bukankah bunga mawar merah akan menambah rona di pipinya yang bersemu saat pandangan mata kami beradu? Saat pertama kali pandangan kami bertemu, dia tersenyum ramah. Matanya berbinar indah. Sinar mentari pagi menerangi wajahnya yang berpeluh, hingga nampak bercahaya. Seketika aku jatuh cinta. "Hai" dia menyapaku sambil melambaikan kecil padaku sebagai sapaan. Aku mengangguk, tersenyum. "Baru ya?" lagi dia bertanya, lagi aku hanya mengangguk. "Mari" serunya lagi, pamit dan berbalik, masuk ke dalam apartemennya. Aku hanya memandangnya nanar. Ada rasa yang perlahan menyusup, rasa kehilangan. Besoknya hal itu terjadi lagi. Dia menyiram tanaman bunga-bunga mawar itu, melakukan pemanasan, peregangan dan mulai bermeditasi. Dan aku terus saja memandang ke arahnya dari balik jeruji besi pagar balkon, menikmatinya yang bak arca seorang dewi di dalam taman di antara bunga mawar. Dan setiap pagi, dia selalu menyapaku. Aku hanya tersenyum, mengangguk, menggeleng, melambaikan tangan, hingga dia berbalik masuk ke dalam apartemennya dan berlalu.

***

"Saya tidak tahu namanya. Dia baru saja sebulan tinggal di sini. Tinggal sendiri.  Sepertinya seorang pelukis. Pernah satu saat saya melihat pintu apartemennya terbuka, dan di dalamnya seperti banyak kanvas-kanvas dan cat-cat. Namun kami tak pernah berbicara. Saya pun tak pernah bertanya, walau sesekali berpapasan. Dia hanya tersenyum dan mengangguk" Aku mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Nyonya Maggie tentang lelaki di gedung yang sama dengan apartemennya. Nyonya Maggie, sebenarnya bernama Margareth. Wanita yang ramah. Saking ramahnya, terkadang sulit untuk memotong omongannya. Rambutnya yang pirang ikal dan dipotong pendek, sepertinya ikut mengangguk-angguk setiap dia bicara, menambah ramai suasana. Lelaki yang selalu sebulan ini, setiap pagi, berdiri di balkonnya yang berada persis berseberangan dengan balkon apartemenku. Aku sepertinya merasa bahwa dia mengawasiku, memperhatikanku.  Aku menyapanya basa basi, tapi dia hanya menanggapi dengan tersenyum, mengangguk, menggeleng dan terakhir melambaikan tangan bila aku berpamitan dan masuk ke dalam apartemenku sendiri. Aku heran, mengapa dia tak pernah bicara. Namun aku merasa ada yang menarik padanya. Entah apa. Wajahnya yang tampankah? Tulang rahangnya yang kokoh? Atau rambutnya yang hitam kelam dengan sepasang mata elang yang menusuk tajam dibingkai alis mata tebal. Dan aku mulai terbiasa akan kehadirannya. Setiap pagi, setiap hari, walau dia tak berbicara.

***

Ini sudah menginjak pekan ke tiga belas, aku tak melihatnya. Sudah 4 bulan belakangan, aku terbiasa dengan kehadirannya. Lelaki bermata elang di balkon seberang. Aku merasa ada yang hilang bila dia tak ada di sana. Dan aku semakin merasa kehilangan. Tiga belas minggu ini, pintu apartemennya yang menuju ke balkon selalu tertutup. Sepertinya aku jatuh cinta. Cinta yang aneh. Kami tak pernah bicara, ups, dia yang tak pernah bicara. Sedang aku, setiap selesai bermeditasi, selalu menyempatkan diri menyapanya. Entah mengapa aku tiba-tiba suka bicara padanya. Walau itu hanya sekedar membahas matahari yang semakin jarang bersinar. Daun-daun yang mulai gugur. Tanaman bunga-bunga mawarku yang mulai enggan berbunga. Dan cuaca semakin dingin mendekati musim dingin. Dan aku benar-benar kehilangan dia, saat salju pertama mulai jatuh.

***

Aku memakai mantel, lalu melilitkan syalku ke leher. Menyampirkan tas ke pundak kanan dan menggenggam buket mawar putih ke dalam pelukan lengan kiriku. Dan hari ini, hari terakhir di kantorku. Senin besok, kami sudah mulai libur menyambut Natal. Salju mulai berguguran, melayang-layang ringan, aku bergegas. Satu blok lagi aku akan sampai di rumah, ketika langkahku mendadak terhenti persis di depan gedung apartemen lelaki itu. Entah mengapa, aku tiba-tiba membelokkan langkah dan mulai memasukinya. Aku memencet tombol lift hingga ke lantai lima bangunan ini. Dan aku mulai menyusuri lorong menuju kamar nomor tujuh  ketika pintu lift terbuka. Setiap nomor apartemen di tiap gedung, persis sama, itu yang membuatku melangkah dengan yakin kemana aku akan menuju. Aku telah berdiri di depan pintu apartemen nomor tujuh. Aku mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Lagi aku mengetuk pintu, tetap tak ada jawaban. Aku mulai sedikit berteriak memanggil, yang ada hanya keheningan. Hanya suaraku yang bergema, memantul di lorong. Aku mulai ragu. Tetap mengetuknya atau berbalik pulang. Tak ada seorangpun melintas di koridor lantai ini. Ragu-ragu aku memegang gagang pintu, memutarnya perlahan, tiba-tiba... Dengan pelan pintu itu terbuka, tak terkunci ternyata. Hanya ada cahaya redup di dekat jendela. Aku memberanikan diri masuk. Nyonya Maggie benar. Di dalam ruangan ini terdapat banyak kanvas-kanvas. Kaleng-kaleng cat, terlihat di beberapa tempat. "Hallo" seruku sambil terus berjalan masuk. "Adakah orang di rumah?" lagi aku memanggil, suaraku bergetar, takut-takut. Cahaya lampu dari luar ruangan, sedikit menambah cahaya yang ada di ruangan apartemen ini. Aku seperti melihat sosok seseorang di sudut dekat jendela. Sosok yang sepertinya sedang duduk bersila. Duduk bersila? setinggi itu? bersila, mengambang di udara, ah tidak mungkin. Aku mendekat ke tembok, mencari tombol lampu, menyalakannya, dan... Aku memandang takjub. Itu sebuah lukisan. Lukisan seorang perempuan berambut panjang berwarna merah dan bergelombang. Perempuan itu sedang duduk bersila, menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan memejamkan mata. Dia serupa bersemedi. Bermeditasi di antara hamparan bunga-bunga mawar aneka warna kecuali merah ya mawar merah, di depannya. Lukisan itu masih diletakan di tiang penyangganya.Pantas saja, seperti sosok yang duduk bersila, mengambang di udara. Perlahan aku mendekati lukisan itu. Meraba tepian kanvasnya. Ragu, meraba badan lukisan, catnya telah mengering, walau belum kering sempurna. Di sudut kanan ada segores tulisan, "I Love U, Lou" Aku tercengang. Wanita.. wanita dalam lukisan itu aku, ya itu aku. Aku baru menyadarinya. Aku mundur selangkah, Jadi.. jadi selama ini, dia, dia... Aku berbalik hendak pergi, aku terkejut dan refleks membuat buket mawar putih dalam pelukanku terlepas, ketika dia sudah berdiri tak jauh dariku, tersenyum dan mulai menggerakkan jari jemarinya membentuk kata-kata, "Iya, itu aku. Aku yang melukisnya juga mengirimkan bunga. Kuharap kau menyukainya" Mata elangnya menusuk lembut bola mataku, aku terpana, diam seribu bahasa.

***

untukmu, siapa saja yang sedang jatuh cinta, mencinta & dicinta ;)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun