Mohon tunggu...
Nathalia
Nathalia Mohon Tunggu... -

just outside my window..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gusti Ora Sare

20 April 2012   14:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:22 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_172810" align="aligncenter" width="331" caption="*pada akhirnya semua hanya menuju satu, pulang*"][/caption] tak lelo lelo lelo ledung Cep meneng anakku cah ayu Tak emban slendang batik kawung Yen nangis mundak ibu bingung * Bapak menyenandungkan lagu itu sambil mengusap-usap punggung anakku yang tertidur di depan TV, di ruang tengah, ruang utama, ruang serbaguna rumah kontrakan yang kami tempati ini. Sesekali, tangannya menepuk nyamuk yang hinggap di tubuh anakku. Cahaya berpendaran dari TV yang menyala hampir tanpa suara, entah acara apa. Bapak tak sedang menonton TV. Benda itu dinyalakan hanya serupa teman pengusir kesepian. Volume suara pun sengaja dikecilkan, agar anakku tak terbangun. Sayup-sayup terdengar suara orang mencuci piring di sebelah rumah. Bunyi benda pecah belah berbenturan berseling suara orang terbatuk. Musik dangdut berdentam-dentam dari warung di seberang jalan, lima atau enam rumah dari rumah yang kami tempati. Sesekali tawa membahana, menguar bersama orang-orang yang sibuk main kartu gaplek, catur atau hanya mengobrol di seputaran warung, di dekat jembatan. "Bapak dereng sare?" tanyaku. Bapak menggeleng. Itu hanya pertanyaan serupa basa-basi. Aku tahu, Bapak tidak akan pernah tidur sebelum aku pulang kecuali kalau ketiduran. "Bapak sampun dahar?" kembali aku bertanya. "Wis, karo tempe nang Warteg Yu Jum. Bagas juga sudah maem, karo sosis sing cilik-cilik iku, tuku nang warung. Kowe lembur lagi toh?" sahutnya sekaligus bertanya. Aku mengangguk. Bagas, anakku satu-satunya. Jagoan cilik berumur tiga tahun kesayangan kami. Dialah pusat dunia dimana pikiran kami teralih. "Becaknya sudah dikunci?" sambil berlutut hendak membopong anakku, kembali aku bertanya. "Wis. Alon-alon, nanti bangun" ucapnya sambil menyingkirkan sehelai jarit yang membelit kaki Bagas, jarit yang diperuntukkan untuk selimut. Aku membopong tubuh anakku. Meletakkannya di kasur yang diletakan di lantai di ruang tengah rumah ini yang berfungsi sebagai kamar. Bapak tidur di ruang depan, beralaskan karpet busa tipis. Kami tinggal bertiga saja di rumah ini. Bapak, aku dan Bagas. Ibu sudah lama meninggal. Bapaknya Bagas, sejak lama menghilang sejak Bagas baru berumur 10 bulan. Orang-orang bilang, suamiku kepincut janda kembang. Bapak tidak percaya, pun aku. Suamiku orang baik, walau hanya kuli bangunan yang sering berpindah-pindah tempat mengikuti pekerjaan. Berbulan Bapak mencari menantunya. Demi aku, demi Bagas. Dan rumor yang beredar menjadi kenyataan. Suamiku kawin lagi di daerah tempatnya bekerja membangun sebuah proyek perumahan. Ini bukan masalah wanita itu janda atau perawan. Kembang atau dedaunan. Ini hanya bukti,orang baik belum tentu setia, itu saja. Lantas aku memilih sendiri. Dan melarang Bapak menghukum dan meminta pertanggungjawaban menantunya. Kemudian aku menjadi buruh di pabrik garmen dekat rumah. Bapak tetap pada profesinya, penarik becak. Kami bertukar shift. Bila aku masuk shift pagi, maka Bapak akan narik becaknya di malam hari, pun sebaliknya. Kalau tidak begitu, siapa yang akan menunggu, menemani dan menjaga Bagas? Sebenarnya aku tak tega membiarkan Bapak menarik becak malam-malam. Umur Bapak sudah lebih dari 65 tahun. Tubuhnya semakin renta. Kadang batuk-batuk, masuk angin dan entah apalagi. Dan semua itu hanya kami obati dengan obat-obat yang dibeli dari  warung. Sesekali kalau sudah terlalu parah, Puskesmas-lah yang menjadi andalan. Entah memang berkhasiat, entah terpaksa atau hanya sugesti, toh obat yang biasanya hanya berwarna putih, hijau dan kuning itu, manjur saja. Aku menyelimuti Bagas. Mengecup kening dan mengusap rambutnya, lalu kembali ke ruang depan tempat Bapak berada. "Yakin Bapak mau narik? Di luar mendung, sepertinya akan hujan" tanyaku yang melihat Bapak sedang bersiap-siap. Beliau memakai jaket lusuhnya. Sebuah handuk kecil diselempangkan di leher, sebagai pembasuh keringat. Bapak mengangguk. "Lebih baik Bapak ndak usah narik. Minggu ini saya banyak lemburan. Cukuplah buat persiapan bayar kontrakan minggu depan" "Ora popo toh nduk. Lumayan buat Bagas tuku jajanan. Gajimu bisa buat beli susunya Bagas. Kasihan anakmu kalau cuma minum air tajin (1) dan teh manis" sahutnya, aku tergugu. Hatiku terkadang miris, bila hujan di malam hari, sedang Bapak belum lagi pulang. Aku membayangkan Bapak menggigil duduk menunggu penumpang di dalam becaknya, sedang angin menderu, merasuk, menyusup pori-pori, mengigiti tulang-tulangnya. Pun terbayang nafasnya yang terburu saat setumpuk sayuran meninggi di becaknya, karena biasanya yang memakai jasa penarik becak saat malam hari, lebih sering tukang sayur yang pergi atau baru pulang dari pasar. Namun Bapak bersikeras. Bapak bilang badannya sakit bila hanya duduk diam, dan aku mengalah. Aku memandang Bapak mempersiapkan becaknya. Dia mengibaskan kain lap untuk membersihkan debu. Banyak bekas tapak sandal Bagas di sana. Jagoan kecil itu, senang naik turun di becak, tak bisa diam. "Enak ya Pak, jadi koruptor. Kata Pak Bambang, manager pabrik yang tadi datang ngecek-ngecek, koruptor makan uang rakyat, tapi cuma dihukum empat tahun penjara. Pak Bambang bilang, kita yang bekerja keras, pejabat yang makan uangnya. Kalau rakyat sejahtera, Bapak kan ndak usah narik malam-malam" ucapku getir. "Ojo ngomongke pejabat ae toh nduk. Kowe kaya pembawa acara debat kusir nang TV. Wis biar saja. Manusia sudah punya jatah rejekinya masing-masing. Manusia juga sudah punya garis hidupnya masing-masing. Kita sebaiknya berusaha, ikhtiar, ojo sing aneh-aneh, kalau mau nggolek rahmatnya Gusti, nduk. Alam saja bekerja tanpa mengeluh" katanya. "Tapi tidak adil Pak. Maling ayam atau copet nang pasar karena di rumah anak dan istrinya kelaparan, hukumannya jauh lebih berat, terkadang malah mati dibakar" sahutku lagi. "Sangkan Paraning Dumadi, nduk. Kawruhana sejatining urip, urip ana jroning alam donya, bebasane mampir ngombe **. Harta ndak digowo mati. Nanti kalau Bapak mati, Bapak juga tidak mau dikubur bareng becak, kuburane dadi sempit hehehe.. Kowe mesti yakin nduk, Gusti Allah ora sare. Gusti ora sare. Bapak mangkat sik yo?" pamitnya, aku mengangguk. Bapak kemudian mendorong becaknya yang tadi diparkir persis di depan rumah, di bawah pohon jambu. Bapak kembali bersenandung dan mengayuh becaknya semakin menjauh. sakehing kan dumadi makardi lir Hyang Widhi kan tansah makarya nguribi jagad tan leren surya, candra lan bayu, bhumi, tirta kalawan agni peparing panguripan mring pamrih wus mungkur anane nuhoni dharma iku dadya sastra cetha tanpa tulis nulat lakuning alam *** Sayup-sayup terngiang senandung yang keluar dari mulut Bapak yang semakin hilang tertimpa hingar bingar syair lagu seorang penyanyi dangdut menanyakan sebuah alamat berulang-ulang. Bapak benar, Gusti Allah ora sare. Semoga alamat yang dicari cepat ketemu Mbak, aku membatin, meningkahi lirik lagu dangdut itu. Menutup pintu dan menguncinya, dan malam semakin tua.

*****

* : Tembang Lelo Ledung diambil dari sini ** : Tembang/Filsafah Sangkan Paraning Dumadi diambil dari sini *** : Tembang Dandang Gula diambil dari sini (1) Air Tajin : Air saat mengaron/menanak nasi, biasanya diberikan ke anak kecil/balita sebagai saduran/selingan susu. Sederhana, terlihat seperti minuman orang susah tapi ternyata, katanya, banyak mengandung gizi :) Sumber Gambar : Meniti Jalanan Berkabut & Mendaki (Ajar Motret & Oldig Jilid 4) oleh Mbah Sumobagor

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun