Mohon tunggu...
Nathalia
Nathalia Mohon Tunggu... -

just outside my window..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(PARADOKS) Matahari dan Bulan

24 April 2011   04:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:28 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="508" caption="http://ourcraftsnthings.com/wp-content/uploads/2008/10/creationd4-21.jpg"][/caption] "Suatu senjakala.."

"Butan kala Bunda, pada suatu hali"

Putriku menyela, tangannya menepuk pipiku.

"Bunda mau dongeng yang berbeda sayang, bukan tentang bunda bebek lagi"

"Bunda bebek?" tatapnya penuh tanya.

"Iya, Bunda bebeknya bobo dulu. Sekarang Bunda mau dongeng tentang bulan dan matahari, Mitha mau dengar?"

Dia mengangguk cepat-cepat, lalu duduk bersandar padaku.

"Suatu senjakala, bulan marah-marah kepada matahari" Dia mendengarkan dengan takjim, sambil memeluk bonekanya.

"Bulan marah kepada matahari, sebab tadi siang, matahari enggan bersinar, sehingga siang hari terasa seperti malam, sedang malam adalah kepunyaan bulan. Lalu bulan berkata...

'Matahari, bagaimana kamu ini, mengapa hari ini kamu tidak bekerja? Apa kau mau mengambil malamku juga?' kata bulan sambil berkacak pinggang.

"Begini ya Bunda?" Dia bangun dari pangkuanku, meletakkan bonekanya dan berkacak pinggang, aku menggangguk mengiyakan dan menariknya kembali ke pangkuan.

'Maafkan aku bulan. Bukannya aku tidak mau bersinar. Aku sedang berbagi tugas dengan awan' kata Matahari.

"Matahalinya nakal ya bunda? kalau nakal di splet aja ya? pake kalet ya kan? gini nih!" Dia mempraktekan gerakan menjepret dengan karet gelang.

"Matahari tidak nakal sayang, Mitha duduk yang manis dan dengarkan lagi ya?" Dia mengangguk dan menyusup ke dalam dadaku.

'Awan? Siapa Awan? Kenapa dia?' Kata Bulan dengan angkuh.

"Kepana bulannya angkuh Bunda? Bulan nakal juga?" Dia menyela.

"Bulan bukan nakal sayang. Bulan angkuh karena merasa dia paling cantik saat bersinar penuh. Bunda lanjut lagi atau Mitha sudah mau bobo?"

"Agi Bunda, Bulan Bunda" pintanya.

'Awan itu temanku' Kata Matahari. 'Setiap hari, saat aku bersinar sangat terik, Awan akan membantuku mengumpulkan benih-benih air di Bumi. Awan akan menampungnya di rumahnya yang lembut serupa kapas'

'Hmm.. lantas apa peduliku? Aku hanya ingin, kau tidak mencuri malamku' Sela Bulan masih dengan sikap angkuh, tapi mulai sedikit tertarik untuk mengetahui tentang Awan.

"Mitha mau Bunda" selanya lagi.

"Mitha mau apa? Susu? Kan tadi sudah minum susu dan sikat gigi. Nanti ngompol loh" Aku menggelitik dan mencium hidungnya.

"Butan, Mitha mau kapas gula juga kaya Awan. Mau Bunda" Dia mulai merajuk.

"Ini bukan permen gula kapas nak. Ini kapas, seperti kapas yang di meja rias Bunda. Memang Mitha mau makan kapas itu?

Dia menggeleng. "Tapi Mitha mau" Pintanya lagi.

"Kalau begitu, dongengnya sudah dulu ya? Besok saja lagi, kalau Mitha sudah mau mendengarkan Bunda dengan baik. Yuk sekarang bobo saja" Aku bersiap hendak membaringkannya di tempat tidur.

"Janan Bunda. Awan lagi"

"Awan gula kapas?" Tanyaku.

"Butan, Bulan Awan" Sahutnya dengan wajah merasa bersalah.

Aku tersenyum. "Cium pipi Bunda dulu dong" Dengan berseri dia mencium pipiku.

'Aku tidak akan pernah mencuri malammu. Aku sudah puas memberi kasih sayangku pada bumi setiap siang saja, percayalah Bulan' kata Matahari mencoba meyakinkan Bulan.

'Terus Awan? Untuk apa dia mengumpulkan benih-benih air?' tanya Bulan kesekian kali.

'Untukku. Sinarku kan sangat panas, dan itu membuat Bumi kehausan'

"Haus! suluh minum susu aja Bunda. Susu Mitha buat Awan. Boleh ya? Bunda ya? susu buat Awan" Katanya dengan riang.

"Bukan minum susu sayang. Susunya buat Mitha saja. Bumi butuh hujan. Manusia juga. Mitha suka main hujan-hujanan kan? kembali dia mengangguk.

'Aku butuh Awan untuk memberi Bumi minum. Itu sebabnya Awan menampungnya dan bila kolam di rumahnya sudah penuh, benih-benih air itu akan dibagi secara berkala ke segala penjuru Bumi berupa rinai hujan" Lanjut Matahari.

Anakku mendengarkan dengan serius. "Mitha mengerti sayang? Bunda ulangi ya? Dia mengangguk dan aku mengulangi penjelasan Matahari sekali lagi dengan pelan-pelan.

"Kenapa kau melakukan itu? Perbuatan aneh. Bumi sudah punya air. Lalu Kau dan Awan mengumpulkannya, lalu di buang lagi ke Bumi, apa bukan pekerjaan sia-sia? Tanya Bulan penasaran.

'Bumi memang sudah punya air. Tapi tidak rata. Aku dan Awan membantu membaginya agar adil. Dari puncak gunung hingga lembah-lembah. Dari desa hingga kota' Matahari menjelaskan dengan sabar.

"Eyang Uti! Holeee!! Eyang Uti. Matahali ke lumah Eyang ya Bunda?" sahutnya sambil bertepuk-tepuk tangan.

"Eyang? Kok Eyang Uti nak?" Aku bingung.

"Matahali ke Desa Eyang" jawabnya lugu. Aku tersenyum. Aku ingat, Anakku hanya tahu kalau orangtuaku, Eyangnya tinggal di desa dan kami tinggal di kota.

"Anak Bunda pintar, mmuuaahh!! Iya, Matahari dan Awan ke Desa Eyang. Bulan juga" Aku mencium kepalanya. "Lanjut? Mitha belum mengantuk?"

"Hoaamm.. belum Bunda. Agi Bulannya" Sahutnya sambil menguap.

'Kemarin kami lihat ada desa yang tandus karena hutannya habis ditebang. Kasihan penghuninya. Itu sebabnya aku tidak bersinar dan membiarkan awan membasuh mereka, menurunkan hujan. Maafkan aku Bulan' Matahari dengan tulus meminta maaf pada bulan.

Senja semakin pekat. Waktunya bagi Matahari untuk tidur dan Bulan yang akan berpendar menggantikannya.

'Aku tidur dulu ya?' Begitu kata Matahari dan bersiap pergi.

"Tunggu dulu Matahari. Maafkan aku. Aku sudah marah dan sombong. Kalian sungguh baik hati. Sedang aku.." Kata Bulan dengan raut sedih.

"Kepana Bulan sedih Bunda? belum main hujan ya? Minta Matahali aja" Selanya.

"Bulan sedih, karena malu dengan Matahari. Bulan sudah marah dan sombong, sedang Bulan hanya bersinar indah saja. Tidak menurunkan hujan untuk Bumi. Sebab itu Mitha tidak boleh sombong ya nak?" Dia mengangguk cepat-cepat.

"Mitha tahu sombong sayang?" Aku bertanya dan dia menggeleng.

"Sombong itu kalau Mitha merasa lebih dari orang lain, nak" Dia menatapku bingung. Aku menciumi wajahnya dan memeluknya erat.

"Nanti kalau Mitha sudah lebih besar dan besar, Mitha akan mengerti nak. Bunda akan ajari Mitha ya? Kali ini dia mengangguk dan tersenyum.

"Telus Bunda?" Tanyanya.

"Oh ya, hampir Bunda lupa hehehe.. maaf" Lantas aku lanjutkan.

'Jangan kau bersedih Bulan. Kau juga baik, hanya janganlah bersikap sombong. Sinarmu menyejukkan dan memberi terang saat malam gelap. Juga membantu nelayan dengan laut pasang" kata Matahari sambil berkedip. Perlahan Matahari menarik selimutnya untuk tidur, meninggalkan Bulan yang tersenyum senang. Bulan berjanji dalam hati, tidak akan bersikap angkuh lagi.

"Selesai dongengnya. Sekarang Mitha bobo ya?" Aku menggendong dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Menarik selimut menutupi tubuhnya.

"Bobo ya Bunda? kaya Matahali?" Tangannya tetap memeluk leherku erat-erat.

"Iya, bobo seperti Matahari, besok pagi-pagi bangun sudah ceria lagi. Bobo ya nak, baca doa dulu. Bismillah..."

****

Dedicated to my beloved niece Mithalina K.I

UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA PARADOKS YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI AKUN Dongeng Anak Nusantara di Kompasiana : Dongeng Anak Nusantara

note : tanpa nomor peserta, ingin ikut menyemarakkan saja, boleh ya Om & Tante :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun