Mohon tunggu...
Maman Natawijaya
Maman Natawijaya Mohon Tunggu... -

Saya ayah dari sepasang anak berusia 10 dan 5 tahun, sesekali menulis lepas di media lokal di Medan dengan tema-tema tentang perlindungan anak, sosial, budaya dan lingkungan. Senang fotografi dengan penguasaan teknik yang masih harus belajar terus. Membaca dan jalan-jalan ke tempat yang belum pernah dikunjungi adalah kesenangan yang lain.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Masakan Mamak Lebih Sedap Pakai Kompor Minyak Lampu

26 Juli 2011   10:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:22 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Mak, Kepling[1] kita sudah ngasih kartu pengambilan tabung dan kompor gas ke kantor lurah?” tanyaku pada mamak yang sedang sibuk mencucidi tempat cucian piring belakang rumah kami.

”Alamak, ngagetin mamak aja kau ini, Son!” seru mamak terkejut dangelas yang sedang dibilasnya terjatuh ke dalam ember air.

”Eh..eh..maaf..maaf, mak,” segera kutahan tubuh mamakyang lumayan besar agar tak terjatuh dari kursi plastik tempat duduknya saat mencuci.

”Oh..ya, kartunya sudah diberi Pak Sinaga. Mamak letak di meja dekat tivi, cuma mamak belum sempat ke kantor lurah. Cepat kali kau pulangnya, apa tak kerja hari ini?”lanjutnya tanpa menjawab pertanyaanku.

”Ya..kerjalah mak, kebetulan awak[2] dapat tugasdari kantor untuk mensosialisasikanpenggunaangas sebagai pengganti minyak lampu[3] di kantor kecamatan dekat-dekat sini. TapiPak Camat bilang, belum berkoordinasi dengan kelurahan-kelurahan agar berkumpul hari ini. Beliau minta diunduruntuk dijadwalkan ulang.”

”Habis makan siang aja nanti awak balik ke kantor.”

”Oh..gitu,memang tak percumalah kaujadi sarjana komunikasi, kerjanya tak jauh-jauh seperti yang dikerjakan ayahmu.”

”Cemanalah mak, kan ayah yang menyarankan awak melamar ke program pemerintah ini. Kata ayah bagus dan cocok buat menambah pengalaman, begitu lulus tes di perusahaan itu awak terus dimasukkan dalam tim fasilitator kecamatan untuk program Sosialisasi Konversi Minyak Tanah ke elpiji (LPG)[4]

”Ya udah tolong kau angkat ember air bersih itu dan letakkan didekat kompor minyak, buatdimasak,biar mamakaja yang angkat cucian ini.”

Tanpa berkata-kata, kuangkat ember air itu dan kuletakkantak jauh dari kompor minyak ditempat yang ditunjuk mamak. Kulihatmamak meletakkan piring dan gelas cucian di atas meja makan dan melapnya dengan kain kering satu persatukemudian menatanya di atas rak piring.

Kalau soal kebersihan, hmm..aku jadi ingat saat kami masih kecil-kecil dahulu, mamakku ini bisa disebut super-cleaner mommy, sangat pembersih. Jangankan piring dan gelas, kami dua orang anak-anaknya, aku dan adik perempuanku diperlakukan juga layaknya gelas dan piring. Sebelum tidur, cuci-muka, cuci-kaki, sikat gigi dan ganti baju tidur. Bahkan kalau ada yang ketiduran, maka dia akan tetap melakukan pembersihan, dengan handuk basah untuk membersihkan muka, gigidantelapak kaki kami. Begitu juga bila pulang sekolah, langsung saja mamak kami yang sudah menunggu di depan pintu rumah, memberikan instruksirutin, ’buka sepatu, ganti baju, cuci muka ,cuci tangan , makan siang dan kemudian pergi ngaji’.

Keramaian akan mencapai puncaknya di malam hari, sekitar pukul sembilan malam. Padahal kami cuma bertiga dan kadang ditambah ayah bila dia pulang cepat dari kantor. Ayah bekerja di sebuah kantor el-es-em, jam kerjanya tak bisa ditebak, kadang bisa pulang cepat dan kadang sampai larut malam.

Seperti biasa, setelah mempersiapkan buku-buku yang akan dibawa sekolah besok atau mengerjakan pe-er, maka tugas selanjutnya adalah masuk ke kamar mandi. Di kamar mandi, aku danadikku menjalankan kegiatan rutin, cuci-muka dan sikat gigi. Sayang, kegiatan adikkutak hanya sikat gigi, dia paling senang berendam di dalam emberdi bawahkeran air sembarimenyikat giginya yang kecil-kecil. Adikku ini yang sering mengundang keributan, karena tak mau segera diangkat dari ember.

”Nanti kau masuk angin anakku dan kau abangnya cepat pakai handuk, tak malu berdiri telanjang ditengoki adikmu!” demikian ’nyanyian’ mamak pada kami.

Eh..ayahku juga tak luput dari aturan ini, baju sehari pakai langsung masuk dalam ember cucian dan celana panjang masih bolehlah dua hari sekali, itupun tergantung pada cuaca, bila musim penghujan maka habis pakai harus segera dicuci. Maklum, ayahku menggunakan sepeda motor. Pakaiannya mudah terkena kotoran lumpur.

’Kebersihan adalah sebagian dari iman’ begitu moto mamak kami dan kalau sudah muncul kalimat itu, ayah kami dengan pelan-pelan mengambil langkah meninggalkan kami yang sedang dipermak di kamar mandi.

Ayah biasanya lebih senang duduk di pojok teras rumah sembari ditemani segelas kopi dan rokok kretek filter kesenangannya. Dia lebih memilih menghindarkan diri dari arena pertempuran kami, paling mamak akan berteriak pada ayah dari kamar mandi, ”Ayah, tolong siapkan bedak, minyak kayu putih dan sisir..ya!”

Kalau sudah begitu, langsung sajaayah akan bergerak mempersiapkan yang diminta mamak dan meletakkan di atas tikar plastik, yang digelar di ruang tamu.

Ah..itu kan sudah limabelas tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku kelas dua SD dan adikku baru berumurtiga tahunan. Aku dan adikku beda usia hampir enam tahun, tak heran kemudian aku sudah bekerja dan adikku masih duduk di bangku kuliah.

---------------------------------.

”Hoii..anak-muda, ngapain kau bengong-bengong di situ, kalau mau makan ambil aja sendiri yaa, mamak mau nyapu teras depan, banyak kali kotoran ayam berserakan di sana. Ayam tak punya, tapi tiap hari kokkebagian kotorannya saja. Lama-lama, kupotong ayam tetangga itu nanti! ” Mamak sejak dulukalau berbicara memang ceplas-ceplos, dan tak segan-segan untuk ’bertengkar’ dengan tetangga bila itu diperlukan.

Aku tersentak dan kurasakan memang perutku mulai lapar, walau jam makanku sebenarnya belum tiba.

”Adik sudah pulang mak?” tanyaku sembari mengambil piring dan menyendokkan nasi dari rice cooker dankulihat dibawah tudung saji lauk hari ini adadaun ubi tumbuk sambal teri dan ikan goreng bawal.

Soal masak-memasak, mamakku ini memang tak ada duanya, setelah soal kebersihan. Sejak mamak masih gadis, memang hobinya masak-memasak, mungkinbakat ini diturunkandari nenek. Nenek dan kakek, dulu memang membuka usaha warung nasi dan mamak adalah asisten paling handalnya nenek, dibandingkan kakak-kakaknya yang lain. Sepertinya, mamak bisa memasak apa saja, baik yang dikenal lewat penuturan orang lain maupun dari resep-resep yang dibacanya dari buku-buku atau majalah.

”Belumlah, adikmu agak sorean pulangnya. Ada mata kuliah tambahan di kampusnya. Semester tiga ini, dia banyak ngambil mata kuliah ke atas. Udahlah makan duluan, punya ayahmu sudah mamak sisihkan untuk nanti malam,” jawab mamak sambil terus menyapu.

” Mak, jadi cemana soal tabung gas dan kompornya itu. Sayangkan kalau tak diambil, lagian mamak nanti kan tak perlu payah-payah beli minyak lampu* lagi di tempatnya si Beti.” ujarku lagi.

”Alaah, bilang aja kauyang malas kalau disuruhbeliminyak ke tempatnya si Beti. Takut ketemugadis itu kau kan..ha..ha,” gurau mamak sembari melemparkan batu ke arah ayam-ayam yang mulai mendekati pekarangan rumah kami.

”Bukan itu mak, memang dia selalu melebihkan minyak yang kubeli. Jerigen yang kemarin dia pinjamkan juga belum kupulangkan. Malas awak mau mulangkannya, nanti adik aja yang memulangkan.” kataku sembari terus mengunyah .

”Nantikalau si Beti jumpa awak,dia pasti nagih janjijalan-jalan ke mal.Banyak kali pun SMS-nya ini.”

”Si Beti kan lumayan manis, punya warisan pangkalan minyak lagi. Atau kau sudah punya pacar?” selidik mamak. Wajahku terasa panas, padahal sambal yang dibuat mamak kali in tidak terlalu pedas.

”Ah..mamak ini ada-ada aja, udahlah cemana soal tabung dan kompor gas itu, kan lumayan bisa menggantikan kompor minyak mamak itu.Mamak juga tak perlu repot-repot mengganti sumbu kompornya. Dapur mamak juga akan selalu bersih, karena asap yang dikeluarkan tidak hitam seperti kompor minyak lampu.”

Mamak tak menjawab, ditariknya salah satu kursi makan dan kemudian duduk di depanku.

”Bukannya aku tak mau mengambil tabung dan kompor gas yang dibagikan gratis oleh pemerintah. Mamak tahu cara menggunakannya, jangan kau pikir aku tak tahu ya.”

”Terus kenapa mamak tak pakai ?”, tanyaku lagi.

”Mamak takut saja, nanti bisa meledak. Sebagaimana yang terjadi dengan almarhum kakak ayah kalian.”

”Kemudian yang paling mamak takuti adalah masakkan mamak bila pakai kompor gas menjadi tak sesedap bila dibandingkanmenggunakan kompor minyak lampu.”

Aku tak berkata-kata lagi dan segera kuselesaikan makan siangku.

”Ya..udah mak, kalau itu alasan mamak, yang penting mamak senang sajalah.”

”Mamak lebih senang pakai kompor 24 sumbu itu, panasnya lebih merata dan biru warna apinya.” sambung mamak lagi.

Aku sudah tak bisa lagi memberikan komentar apa-apa, karena memang begitulah pengalamannya selama bertahun-tahun.

”Awak balik dulu ke kantor, sudah hampir habis jam makan siang ini.” ujarku sembari mengambil raincoat yang kugantung di dindingpintu kamarku.

”Assalamualaikum, aku balik dulu ke kantor ya..mak,”kuraih tangan mamak dan kucium. Mamak hanya tersenyum dan mengelus kepalaku.

Segera kupakai helm dan kuengkol sepeda motor, menerabas teriknya matahari di jalanan kota yang padat. Jalanan dengan seribu lubang dan hiasan sampah yang teronggokdi segala sudut kota dan ribuan lalat hijauyangmenari-nari di atas tumpukan sampah itu.

Ah..bagaimana ini, mamakku sendiri saja tak mau pakai!

**************

Medan, 19 Mei 2009

[1] Kepling =kepala lingkungan

[2] Awak = saya

[3] Minyak lampu=minyak tanah

[4] LPG = Liquefied Petroleum Gas

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun