Novel Kenanga karya Oka Rusmini pertama kali terbit pada tahun 2003 oleh penerbit Grasindo. Kenanga pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Koran Tempo 20 Agustus 2002-17 Desember 2002 dan masuk Nominasi Khatulistiwa Literary Award pada tahun 2004.
Novel Kenanga menggambarkan tentang kehidupan tokoh Kenanga. Ia adalah sosok perempuan yang pekerja keras, penuh keyakinan, cerdas, dan karena itulah Kenanga berhasil meniti karir. Kenanga mengorbankan semuanya demi cintanya. Cintanya pada kekasihnya, adiknya, keluarganya, bahkan pada sistem adatnya sendiri yang diam-diam telah merampas semua kebahagiaannya. Kenanga merupakan seorang dosen sastra yang oleh sebagian besar keluarganya dianggap perawan tua, memilih hidup tanpa berketurunan yang menyebabkan putusnya garis keluarga. Padahal, diam-diam ia telah memberontak dengan caranya sendiri. Baginya cukup ia yang tahu bagaimana caranya dia bahagia. Sosok Kenanga mengajari betapa seorang perempuan Bali adalah perempuan yang kuat di tengah kehidupan adat Bali saat itu.
Permasalahan datang ketika hadirnya tokoh Bhuana, suami Kencana, di kehidupan Kenanga. Sebelum menikah dengan Kencana, laki-laki tersebut sudah mencintai Kenanga. Namun, Kenanga menolak dan meminta Bhuana menikahi adiknya padahal mereka sudah sampai berhubungan badan. Kenanga mengorbankan cintanya demi melihat Kencana senang karena menikah dengan pria idamannya.Setelah itu pun, Kenanga hamil, tak ada satu orang pun dari keluarganya yang mengetahui bahwa ia sedang mengandung seorang bayi. Ia memilih diam dan pergi sampai ia melahirkan. Setelah melahirkan, ia kembali ke Bali. Tak ditemani bayinya, sebab dokter mengatakan bahwa bayinya tidak selamat. Kemudian, ia pun menjalani kesehariannya seperti dulu, sebagai seorang dosen sastra.
Suatu hari, Bhuana menemuinya dan mengatakan fakta bahwa Intan, wang jero yang ia anggap anaknya sendiri adalah anak kandungnya dengan Bhuana. Tahap akhir atau tahap penyelesaian novel ini terjadi ketika anggota keluarga Kenanga menerima Intan sebagai anak dan anggota keluarga Kenanga.
Tokoh Kenanga seakan mengungkapkan bagaimana ketidakadilan diterima oleh seorang perempuan, seperti pada kutipan berikut.
“Anak kita? Bhuana, di mana otakmu? Kau lelaki, bisa bicara apa saja semaumu. Menanggung anak ini, membiayainya. Enak saja. Kau pikir aku tidak sanggup? Persoalannya tidak sesederhana itu. Mungkin bagimu ini persoalan mudah, Buatku berat! Tubuh laki-laki bisa bebas membuang benihnya ke mana pun, tapi perempuan? Benih itu tumbuh dalam tubuhku. Nyawaku jadi taruhannya. Aku bisa mati saat membunuh atau melahirkan janin ini. Tapi resikonya jauh lebih besar kalau janin ini aku pertahankan. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk anakku. Untuk masa depan kami!...” (Rusmini, 2003: 55).
Dia tahu, bila aib ini pecah, orang-orang pasti akan bersorak-sorai memojokkannya. Menjadikannya bulan-bulanan kesalahan dan kenajisan. (Rusmini, 2003: 91).
Dia terlalu mandiri sebagai seorang perempuan. Kepercayaan dirinya terlampau besar, hingga sering menakutkan. Bagaimana jika ia kedapatan punya anak di luar nikah, tanpa upacara megah yang penuh basa-basi itu? Bagaimana jika ayah anak itu ketahuan? Semua orang pasti berebut menguliti batang-tubuhnya yang jadi tampak tak senonoh, seraya meludah beramai-ramai... (Rusmini, 2003: 91-92).
Dalam kutipan diatas, perempuan selalu dipandang rendah jika hamil diluaar nikah. Perempuanlah yang paling dirugikan, baik saat masa tokoh Kenanga hidup maupun masa sekarang. Masyarakat selalu memandang rendah dan mencemooh pihak perempuan. Sayangnya, hal tersebut tidak berlaku pada pihak laki-laki. Perbuatan mereka memang salah karena berhubungan diluar nikah, namun pantaskah hanya pihak perempuan yang dipandang rendah dan dicemooh? Hal itu jelas tidak adil.
Bagi dia, yang selalu merasa sebagai bangsawan Bali tulen, seorang anak perempuan tak ada harganya. “Aku memerlukan anak lelaki. Anak lelaki akan membuat keluargaku hidup lebih sentosa!” koarnya sering kali. Dia ingin istrinya melahirkan anak lagi dan lagi dan lagi, sampai berhasil mendapatkan keturunan laki-laki. Dan kalau tidak berhasil juga? “Terpaksa aku kawin lagi,” ujarnya ringan. Tanpa peduli istrinya mengidap diabetes, sehingga melahirkan lagi akan sangat beresiko. (Rusmini, 2003: 176).