Mohon tunggu...
Natasya SN
Natasya SN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hanya manusia yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Dilema Budaya, Ketika Pesona Korea Mengalahkan Kearifan Lokal Indonesia

18 Juni 2024   18:38 Diperbarui: 18 Juni 2024   18:49 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istilah ke-koreaan mesti sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat, khususnya Gen Z. Pasalnya hingga tahun 2024 budaya Korea sudah mulai ''menjajah'' minat generasi muda. Mulai dari segi hiburan seperti drama korea atau biasa disebut drakor lalu industri permusikan seperti Kpop hingga beragam makanan asal korea yang sampai sekarang digemari orang dan peminatnya pun melonjak secara drastis berbanding terbalik dengan minat pada budaya dan produk kearifan lokal yang terus mengalami penurunan. 

Pengaruh budaya Korea dapat terjadi karena adanya globalisasi yang sedang terjadi, membuat keterbukaan informasi semakin lebar sehingga memungkinkan adanya integrasi dan pertukaran informasi dari seluruh penjuru dunia. Terlebih dengan maraknya penggunaan sosial media juga membuat jangkauan pengaruh budaya Korea semakin luas, tidak hanya di Indonesia saja, baik negara bagian timur dan barat pun juga turut berdampak terhadap dominasi hegemoni budaya korea. 

Lalu apa yang salah dengan hal itu? Sebenarnya tidak ada yang salah dengan masuknya kultur budaya Korea ke Indonesia tetapi yang jadi masalah adalah ketika kita sudah mulai ''lupa'' dengan budaya asal dan justru membangga-banggakan budaya luar. Fenomena ini tidak sedikit terjadi di kalangan anak muda, contoh fenomena  zaman sekarang anak muda lebih banyak tahu mengenai makanan asal korea dibanding makanan lokal, coba ditanya tentang makanan daerah? buru-buru tahu, mereka akan bengong dulu sambil diam-diam minta bantuan mbah google. Bayangkan saja Indonesia dengan negara kepulauannya tercatat  memiliki 5300 makanan tradisional yang menyebar dari sabang sampai merauke, namun yang dikenal masyarakat sekarang justru makanan  ke-koreaan seperti tteokbokki, samyang, kimchi dan lain-lain. 

Bahkan saat ini pun baju tradisi asli Indonesia sudah mulai hilang ketenarannya, digantikan baju trendy kekinian ala-ala korean style. Sekarang kebanyakan orang justru beranggapan bahwa model di Indonesia terlalu jadul dan ketinggalan zaman.  Seperti munculnya  kebaya ala  korea padahal kebaya tradisional kita tidak kalah cantik dengan baju-baju ala korea.  Industri hiburan seperti televisi dan film pun juga mulai kehilangan eksistensinya, anak muda sekarang daripada disuruh nonton televisi lokal dan film series lokal entah kualitasnya yang kalah jauh atau memang mata batin  masyarakat saja yang sudah tertutupi. 

Mereka rata-rata akan lebih memilih untuk melihat drama korea yang dipenuhi oppa-oppa ganteng itu dibanding film kreasi anak bangsa. Merek-merek  lain seperti skincare & kosmetik pun juga sama, masyarakat lebih memilih produk impor dibanding produk lokal. Produk  lokal di masa ini seperti tidak ada harganya. Rata-rata  orang akan menawar produk lokal hingga titik darah penghabisan tapi begitu produk asing keluar ia seakan langsung haus mata. 

Mirisnya disini adalah budaya ''fomo'' masyarakat Indonesia yang tidak mempunyai cukup teguh pendirian dan selalu ikut-ikutan dengan orang lain. Sehingga hal apapun itu yang viral mulai dari makanan asing dan tren asing apa-apa yang datang, mereka akan berbondong-bondong berpindah haluan. Pada akhirnya hal ini berujung, dimana masyarakat secara tidak sadar mulai melupakan dan meninggalkan kearifan lokal. 


Tidak berhenti disitu saja media hiburan di Indonesia ini sepertinya  juga patut dipertanyakan. Mulai dari kualitas tontonan televisi yang kebanyakan tidak bermutu hingga akting dan editing yang gitu-gitu saja tidak pernah mengalami peningkatan mungkin juga jadi faktor kenapa banyak masyarakat berpindah haluan. 

Padahal harusnya melalui media hiburan itulah dapat digunakan untuk mempromosikan budaya kearifan lokal. Jika menonton tv lokal dan media lokal saja tidak tertarik lantas bagaimana bisa menarik masyarakat untuk tertarik dengan kearifan lokal?. Jika hal ini terus berlanjut maka kemungkinan paling besar budaya-budaya lokal itu akan tersingkirkan dan  secara perlahan minat masyarakat terhadap kearifan lokal pun semakin menurun. 

Maka dari itu, sebenarnya yang disalahkan disini tidak hanya dari kalangan masyarakat saja yang kurang terbuka pandangan terhadap kearifan lokal   tetapi  juga pemerintah terlebih lagi pihak Kominfo, sebagai kementerian yang menangani media dan informasi, harusnya lebih gencar dan memberi perhatian lebih dalam mempromosikan kearifan lokal di Indonesia tidak hanya dengan promosi saja tapi juga dengan perlahan memperbaiki kualitas hiburan dan media Indonesia agar tidak kalah saing dengan negara asing. Sudah waktunya bagi masyarakat dan pemerintah untuk bersinergi bersama -sama  tidak hanya membangun benteng perlindungan dan berdiam diri saja  tetapi juga turut menggaumkan dan menyuarakan indahnya kearifan lokal tanah air tercinta pada dunia. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun