Indonesia merupakan negara agraris dengan sumber daya dasarnya berada pada bidang pertanian. Pertanian merupakan sektor penopang terbesar kedua bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Produk Domestik Bruto (PDB) lapangan usaha pertanian atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp 2,25 kuadriliun sepanjang tahun 2021. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 13,28% terhadap PDB nasional. Dengan demikian, bidang pertanian banyak berkontribusi bagi pembangunan ekonomi negara. Akan tetapi, dinamika perjalanan sejarah pastinya tidak selalu mulus, ada pasang naik dan pasang surut yang turut mengiringinya. Ada beberapa catatan yang sukses, tetapi ada juga banyak kerumitan yang terjadi seperti masalah infrastruktur, kelembagaan, SDM, hingga kepada masalah kesiapan memasuki globalisasi dan daya saing. Hal demikian juga dialami oleh bidang pertanian.
Secara spesifik, saat ini beberapa kondisi sekaligus kendala yang dihadapi petani untuk mengembangkan usaha produktifnya, adalah (1) akses yang kurang baik terhadap sumber daya seperti keterbatasan aset lahan, infrastruktur serta sarana dan prasarana penunjang kegiatan produktif lainnya; (2) produktivitas tenaga kerja yang relatif rendah, sebagai akibat keterbatasan teknologi, keterampilan, dan pengelolaan sumber daya yang efisien; (3) kurang meratanya akses pelayanan bagi tumbuhnya lembaga-lembaga sosial (social capital) dari bawah.
Pembangunan pertanian di daerah pedesaan juga harus diikuti dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani, yang sekaligus mendorong terwujudnya pengembangan ekonomi pedesaan melalui kegiatan-kegiatan produktif dan dapat berdaya saing. Masalah yang saat ini masih terjadi yaitu peningkatan produksi pertanian belum disertai dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani secara signifikan. Petani sebagai unit pertanian terkecil belum mampu meraih hal tersebut.
Oleh karena itu, persoalan untuk membangun kelembagaan (institution) di bidang pertanian sangat penting dan diperlukan, agar petani dapat melaksanakan kegiatan yang terstruktur. Institutional building sebagai prasyarat keharusan dalam pembangunan pertanian yang sebagian besar pelakunya adalah petani, sebagai contohnya adalah keberadaan kelompok tani di lingkungan pedesaan. Kelembagaan pertanian, baik bagi petani maupun kelompok tani memiliki fungsi dan posisi yang berperan untuk membantu memfasilitasi interaksi sosial atau social interplay, dimana hal tersebut merupakan bagian dari pranata sosial. Secara substansial, upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya dapat dipandang sebagai sebuah langkah untuk menuju rekonstruksi ulang dalam penguasaan dan akses sumber daya produktif yang ada dalam bidang pertanian.
Sebagai salah satu upaya dalam membantu mendorong pembangunan pertanian dan pedesaan, keberadaan kelembagaan tersebut diharapkan dapat menjadi pendorong terciptanya the same level playing field petani dan pelaku ekonomi lainnya. Upaya kelembagaan tersebut diharapkan juga mampu untuk mendorong peningkatan sumber daya, produktivitas, efisiensi, dan kelestarian bagi kegiatan-kegiatan pertanian, yang selanjutnya akan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Sebagai contoh adalah kelompok tani desa, lembaga ini sebagai bangunan kelembagaan petani yang pada dasarnya merupakan salah satu bentuk modal sosial (social capital) yang terdiri dari perkumpulan petani-petani, yang bertujuan untuk mengintegrasikan petani-petani yang ada di desa, yang diharapkan dapat menjadi salah satu pemicu bagi produktivitas petani di desa. Pada intinya, prinsip kelompok tani adalah menyediakan kebutuhan para anggotanya seperti menyediakan pupuk, bibit tanaman, traktor, dan peralatan penunjang kegiatan pertanian lainnya. Dengan adanya lembaga kelompok tani ini harapannya akan dapat membantu para petani di desa dalam mengoptimalkan pengelolaan pertanian, yang selanjutnya dapat memperoleh hasil yang maksimal, yang akhirnya kesejahteraan para petani dapat tercapai.
Saat musim tanam dan musim panen tiba, sesama anggota dalam kelompok tani tersebut akan saling bantu membantu untuk mengolah lahan pertaniannya. Dalam hal ini terkandung teori kelembagaan yaitu principal agent theory. Dalam teori agensi (principal agent theory) diandaikan setidaknya terdapat dua pelaku yang berhubungan, yakni prinsipal dan agen. Prinsipal adalah pihak yang mempekerjakan agen untuk melaksanakan pekerjaan atau layanan yang diinginkan oleh prinsipal, prinsipal dalam hal ini yaitu pemilik lahan. Di luar itu, prinsipal juga memfasilitasi keberhasilan sebuah aktivitas yang telah didelegasikan kepada pihak agen, agen dalam hal ini yaitu petani penggarap.
Kelompok tani juga dapat memiliki koperasi kelompok tani, yang merupakan salah satu social capital untuk melawan ketidakadilan, yang diharapkan dapat menjadi salah satu pemicu bagi pemberdayaan ekonomi petani di desa. Prinsip dari koperasi adalah memposisikan anggota sebagai pemilik dan pengguna jasa, dan termanifestasikan dalam skema pemilik-pengguna jasa, yang sangat sesuai untuk pengelolaan bidang pertanian di daerah pedesaan. Keberadaan koperasi kelompok tani ini akan membantu para petani dalam hal permodalan. Diharapkan dengan adanya koperasi kelompok tani ini petani yang mengalami kesulitan permodalan akan terbantu sehingga kegiatan pertaniannya akan dapat tetap berjalan.
Dengan mengingat bahwa pertanian merupakan salah satu bidang yang berperan sebagai penyedia pangan yang krusial untuk menjaga stabilitas suatu negara dan perannya sebagai pengaman saat bidang ekonomi mengalami krisis. Dan dengan melihat beberapa pentingnya aspek kelembagaan di bidang pertanian maka keberadaan kelembagaan pertanian perlu diperkuat lagi. Pemerintah kiranya perlu sesegera mungkin untuk melakukan perbaikan pada bidang birokrasi, good governance, aturan main, infrastruktur, dan pengembangan BUMDes dengan menyertakan modal gotong royong dalam mengatasi permasalahan yang ada pada sektor pertanian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H